Dibalik Kebesaran Nama Iran, Ada Kisah Pengkhianatan Dibaliknya
BloggerBorneo.com – Setiap orang mungkin pernah merasakan dikhianati. Seorang istri dikhianati suami yang berselingkuh, rakyat dikhianati oleh pemimpin yang tak menepati janji.
Pengkhianatan selalu menyakitkan, dan dalam konteks negara, ia bisa lebih merusak daripada serangan senjata paling canggih sekalipun.
Iran dan Kisah Para Pengkhianat
Inilah pelajaran pahit yang baru saja dialami Iran dalam konfrontasinya dengan Israel dan Amerika Serikat. Mari kita cermati peristiwa ini sambil menikmati secangkir kopi—tanpa gula, tentu saja.
Iran, negeri para Ayatollah dan ambisi nuklir yang tak pernah rampung, telah memperlihatkan betapa rapuhnya pertahanan sebuah negara jika dari dalam telah disusupi pengkhianatan.
Selama 12 hari, sejak 13 hingga 24 Juni 2025, dunia menyaksikan eskalasi konflik Iran melawan kekuatan besar: Israel dan Amerika Serikat.
Namun di balik dentuman bom dan denting rudal, ada pertarungan diam-diam yang jauh lebih mematikan: Iran menangkap lebih dari 700 warganya sendiri, yang dituduh sebagai agen intelijen asing, terutama Mossad.
700 Orang Pengkhianat
Angka 700 bukan sekadar statistik. Itu cukup untuk mengisi satu sekolah besar lengkap dengan tim paskibra, marching band, dan panitia pensi.
Tiga orang dari mereka bahkan langsung dieksekusi di Penjara Urmia, karena terbukti menyamar sebagai pedagang elektronik dan menyelundupkan peralatan teror yang dibungkus sebagai pengiriman alkohol—sebuah skenario yang terasa lebih mirip sinetron Ramadhan daripada operasi intelijen.
Penangkapan terjadi di wilayah-wilayah strategis seperti Kermanshah, Isfahan, Khuzestan, Fars, dan Lorestan. Ini bukan kawasan pinggiran, melainkan jantung budaya dan ekonomi Iran.
Artinya, infiltrasi sudah masuk hingga ke pusat-pusat vital negara. Bisa jadi para agen itu adalah orang-orang yang rutin salat berjamaah, mengisi formulir pajak, dan mengikuti upacara Hari Revolusi—sambil diam-diam meneruskan data ke Tel Aviv.
Pengkhianatan semacam ini adalah yang paling mengerikan, karena sering datang dari wajah-wajah yang kita kenal dan percayai.
Sejarah telah menunjukkan berkali-kali: dari Troya yang runtuh oleh tipu daya kuda kayu, hingga Kekhalifahan Abbasiyah yang hancur karena korupsi birokrasi.
Musuh paling berbahaya bukanlah yang datang membawa bendera, tapi yang berdiri di samping kita—memeluk dengan tangan satu, dan menyelipkan pisau di belakang punggung dengan tangan lain.
Israel, seperti biasa, beroperasi dengan gaya kombinasi antara film James Bond dan ketegangan khas Netanyahu. Serangan mereka dimulai pada 13 Juni, berdalih untuk menghentikan program nuklir Iran.
Iran pun membalas lewat Operasi True Promise III, membanjiri langit Israel dengan rudal yang membuat malam mereka lebih terang dari biasanya—bukan karena bintang, tapi karena api.
Tak ketinggalan, Amerika Serikat masuk dalam pusaran konflik. Tiga fasilitas nuklir penting di Iran—Natanz, Fordow, dan Isfahan—dihantam pada 22 Juni.
Donald Trump, yang entah kembali berkuasa lewat pemilu atau skenario sitkom politik, tampil mengancam, “Damai, atau lihatlah murka Amerika sesungguhnya.”
Iran membalas dengan rudal ke pangkalan udara Al Udeid di Qatar, meski sebagian besar berhasil dicegat. Yang satu lolos pun tampaknya kebingungan, “Aku ke sini buat apa, ya?”
Saat dunia menahan napas, gencatan senjata tiba-tiba diumumkan. Dunia lega. Tapi juga waspada. Karena satu hal yang tak bisa dihentikan dengan perjanjian adalah: pengkhianatan.
Sejarah dunia penuh dengan negara-negara besar yang runtuh bukan karena serangan musuh, tetapi oleh pembusukan dari dalam:
- Kekaisaran Romawi tumbang bukan karena kaum barbar semata, tapi karena elit yang korup.
- Khilafah Utsmaniyah runtuh bukan hanya karena penjajahan, tetapi karena pengkhianatan dari dalam provinsinya sendiri.
- Uni Soviet bubar bukan oleh invasi militer, tapi karena birokrasi yang membusuk hingga ke akar.
- Irak hancur bukan semata oleh pasukan AS, tapi karena jenderal-jenderal Saddam yang lebih sibuk menyelundupkan emas daripada berperang.
Kini Iran menyusul. Tak perlu bom termonuklir jika sistem di dalamnya sudah dipenuhi agen asing.
Pengkhianatan adalah senjata paling sunyi tapi paling menghancurkan. Ia tak menimbulkan suara, tapi mampu meruntuhkan pilar paling kokoh: kepercayaan.
Negara paling kuat bukanlah yang punya ribuan nuklir, tapi yang mampu menjaga kesetiaan dari dalam.
Sebab, jika tukang pos, tukang masak, bahkan tukang selfie di markas militer adalah agen musuh, maka pertanyaan pentingnya bukan siapa yang menyerang, tapi kapan kita akan meledakkan diri sendiri.
Dan ledakan itu bisa terjadi… mungkin saja, dari seseorang yang sedang duduk di sebelahmu.
#camanewak
Ketua Satupena Kalbar