Guru Ideal, Harus Netral
Guru adalah tonggak utama dalam kebehasilan pencapaian tujuan pendidikan sekaligus garda terdepan pada pelaksanaan pendidikan, meskipun tidak sebagai faktor tunggal namun peran guru sangat vital dan dominan terutama di lingkungan sekolah.
Guru sebagai salah satu aktor utama dalam mendidik anak selain orang tua mesti cakap dan terampil dalam memainkan perannya untuk tumbuh kembang anak agar menjadi pribadi yang unggul dan berkarakter.
Sesuai filosofi bahasa Jawa guru ‘digugu dan ditiru’ artinya guru harus menjadi role model yang dapat menjadi inspirasi serta motivasi bagi anak terutama sains dan nilai-nilai kebaikan secara universal yang berlaku di masyarakat mengingat secara garis besar tugas guru adalah mengajar ilmu pengetahuan dan mendidik kepribadian anak.
Sebagai pengajar dan pendidik guru harus mempunyai kemampuan yang seimbang antara wawasan/pengetahuan (intelektualitas), moral hingga karakter (integritas) yang dapat menjadi teladan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Surya (2002) yang mendefinisikan guru sebagai pendidik profesional selayaknya mempunyai citra baik di masyarakat, guru itu ditiru atau diturut dan dicontoh.
Secara sederhana kedua aspek tersebut dapat dijadikan barometer untuk mengukur seorang guru dapat dikatakan ideal. Oleh karena itu tidak cukup bagi seorang guru jika hanya mengedepankan kompetensi akademik belaka.
Bahkan penulis berpendapat justru aspek afektif yang lebih utama dan real ada pada sosok guru mengingat di era terbuka yang serba mudah dan cepat seperti saat ini ancaman tergerusnya karakter atau budaya bangsa lebih rentan akibat pengaruh negatif yang berimplikasi pada degradasi moral.
TOPIK UTAMA
Guru Agen Utama Merawat Tunas Muda
Dan guru sebagai agen utama merawat tunas muda bangsa harus terlebih dahulu memiliki imunitas diri dalam hal karakter agar benar-benar dapat menjadi teladan yang baik bagi peserta didik.
Terkait seperti apa sosok guru ideal, penulis menggambarkan secara intelektual guru harus berwawasan luas sesuai disiplin keilmuan, kaya akan referensi, gemar upgrade diri dalam bentuk formal maupun informal.
Seorang guru juga harus memiliki kemampuan literasi yang baik agar dapat mentransfer ilmu pengetahuan secara sederhana dan bijaksana dalam arti dapat memilah sesuatu yang tepat untuk disajikan dalam pembelajaran serta mampu menjadi motivator untuk pengembangan potensi peserta didik. Selanjutnya cakap teknologi sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain itu dari aspek karakter yang paling utama adalah sosok guru harus beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa dalam arti menjalankan perintah dan menjauhi larangan, karena dalam keyakinan apapun iman dan takwa merupakan benteng diri bagi seorang untuk tidak melakukan hal diluar kaidah kebaikan yang ditetapkan pada ajaran agama yang dianut dan tentunya selalu mawas diri karena merasa diawasi dan bertanggung jawab langsung kepada sang kholik.
Guru Harus Memiliki Rasa Kepedulian Tinggi
Guru juga harus memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap kondisi sekitar terutama peserta didik agar mampu meramu formula yang tepat dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi peserta didik berdasarkan latar belakang peserta didik tersebut.
Memiliki daya kreatifitas yang tinggi dan bersifat egaliter dengan tujuan menciptakan suasana nyaman dan terbuka bagi peserta didik atau tidak terkesan otoriter dalam berinteraksi dengan peserta didik.
Tidak luput pula guru harus berjiwa patriot dan memiliki semangat kebangsaan (nasionalisme) yang tinggi agar mampu merawat eksistensi budaya bangsa dan menjaga keberagaman.
Kriteria tersebut sejalan dengan tujuan dari pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yakni untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Titik Tolak Guru Ideal
Adapun titik tolak dari kriteria guru ideal diatas karena penulis beranggapan sangat tidak elok apabila seorang guru yang merupakan teladan dan sosok yang memiliki martabat baik bagi peserta didik maupun masyarakat justru pada kenyataannya mencerminkan prilaku yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat diluar profesinya sebagai seorang guru atau pengajar disekolah.
Misalnya seperti menjadi pelaku maksiat, pecandu minuman dan obat terlarang, pemain judi, slot dan sebagainya atau malah menjadi agen mode budaya luar seperti contoh kecil yang lagi trend berambut pirang, berbusana terbuka ala barat dan lain-lain.
Sementara masih banyak budaya bangsa yang bernilai luhur dan positif yang semestinya kita explore dan menjadi kebanggaan tinimbang harus latah dengan dalih life style.
Tidak Feodal
Secara garis besar feodalisme adalah struktur sosial politik yang mengagungkan harta kekayaan, garis keturunan dan jabatan/prestasi yang pada prakteknya membentuk kasta ditengah masyarakat. Pada kontek tertentu sistem ini baik dan kenyataanya pernah berlaku sebagai tatanan hidup masyarakat dunia termasuk Bangsa Indonesia.
Namun kini masa nya telah berakhir dan masyarakat dunia masuk pada era persamaan hak. Mesti begitu pengaruh feodalisme masih ada di tengah masyarakat bahkan mengkristal menjadi sebuah karakter.
Budayawan sekaligus tokoh pers Indonesia Mochtar Lubis pernah menggambarkan karakter Bangsa Indonesia pada orasi kebudayaan tahun 1977 silam yang diantaranya menyebutkan salah satu karakter Bangsa Indonesia adalah “bersifat dan berprilaku feodal”.
Dalam kontek dunia pendidikan penulis berpendapat hendaknya guru tidak bersifat feodal atau memandang peserta didik berdasarkan stratifikasi sosial. Guru harus mampu bersikap netral terhadap peserta didik dan tegas menyampaikan fakta terkait peserta didik tersebut tanpa pengaruh embel-embel kelas sosial.
Seperti contoh adanya perlakuan khusus/istimewa oleh guru kepada anak-anak yang berasal dari keluarga mampu, berlomba mencari perhatian dari kalangan tertentu yang dianggap berpengaruh, sanggup berlaku tidak jujur dalam perlombaan atau kompetisi demi mengejar nama baik prestasi agar mendapat penghargaan tertentu. Dan yang memprihatinkan berlaku sewenang-wenang kepada anak dari kalangan bawah/marjinal.
Hal ini sangat tidak sehat jika terjadi dalam dunia pendidikan, guru harus melihat peserta didik menggunakan kacamata keadilan bahwa semua anak memiliki kesetaraan dan kesempatan yang sama untuk dihargai.
Guru sebagai inspiring harus mampu mengangkat moralitas semua peserta didik agar tumbuh menjadi generasi unggul dan percaya diri tanpa harus sebagian dielukan, sebagian lainnya dijatuhkan.
Penulis: Muhammad Azmi (Guru SMP Negeri 3 Parindu, Kabupaten Sanggau)
Comments are closed.