Kisah Pak Ujang dengan Gerobak Sampahnya Bertahan dalam Kerasnya Hidup di Ibukota
8 tahun yang lalu, impiannya datang dan bermaksud untuk mengadu nasib di ibukota pupus sudah ketika temannya menipu dirinya dan membawa seluruh uang modal bawaannya. Sekarang, Beliau harus tetap bertahan dalam kerasnya hidup di ibukota ditemani gerobak sampah andalannya.
Namanya Pak Ujang, usia 57 tahun. Selama 2 minggu di Jakarta hampir tiap malam saya melihat Beliau tidur dengan posisi duduk diatas rumput depan hotel Atlet Century kawasan Senayan. Diantara lalu lalang mobil mewah dikawasan Senayan, Pak Ujang yang sejak 8 tahun lalu memulung botol plastik ini adalah 1 dari sekian banyak rakyat pribumi yang terpinggirkan di Jakarta. Hidup dalam keadaan serba kekurangan namun harus mampu bertahan melanjutkan kehidupan.
3 hari yang lalu saya memberanikan diri membangunkan dari tidur dengan posisi duduknya. Beliau agak terkejut, mungkin saya dikira petugas penertiban yang selama ini suka mengejar-ngehar bahkan sampai merampas gerobaknya. Satu-satunya alat untuk mempertahankan hidupnya.
Singkat cerita akhirnya kami duduk berdua diatas rumput dan ngobrol. Saya jadi tahu kalau beliau memiliki darah Sunda dari ayahnya. Itulah kenapa meski beliau berasal dari Lahat, namun namanya Ujang.
8 tahun yang lalu datang ke Jakarta bersama kawannya. Maksud hati mencari nafkah dengan usaha jualan rokok. Namun saat usaha baru berjalan seluruh modal dan keutungannya dibawa lari oleh si kawan. Jadilah Pak Ujang sebatang kara terlunta-lunta di Jakarta. Demi mempertahankan hidup terpaksa harus menjadi pemulung botol plastik.
Saya: Kenapa nggak pulang ke Lahat Pak?
Pak Ujang: Bagaimana mau pulang, penghasilan dari jual botol sehari paling cukup buat makan sehari. Kalau lagi banyak bisa makan 3 kali dan buat bayar mandi di toilet umum di daerah Karet. Kalau lagi nggak banyak botol seperti sekarang ini sampai malam belum bisa jual karena gerobak belum penuh.
Saya: Kalau gerobak penuh bisa dapat berapa Pak?
Pak Ujang: Kalau penuh bisa dapat sekitar 12 kg, dihargai Rp. 2500/kg, jadi lumayan bisa makan, kalau belum penuh begini ya nggak cukup buat beli makan. Sekarang susah cari botol, yang nyari tambah banyak, rebutan, yang setor banyak harganya ditawar makin murah.
Saya: Kok tidurnya duduk begitu Kak, nggak sakit?
Pak Ujang: Saya tidur begini buat ganjal perut, nahan lapar.
(aduh rasanya makin perih mendengarnya)
Saya: Kalau hujan gimana donk Pak?
Pak Ujang: Kalau hujan terpaksa saya tidur di dalam gerobak, diatas botol-botol itu, ditutupi plastik. Itu terpaksa, karena kalau lapar tidur terlentang malah nggak bisa tidur.
Saya: Sudah berapa lama nggak pulang pak?
Pak Ujang: Sudah 8 tahun, nggak tahu gimana anak-istri, dulu waktu saya tinggal anak 1, mungkin istri saya sudah kawin lagi karena nggak ada kabar dari saya. Saya mau pulang juga malu kondisi kayak gini.
Saya: Ooh.. Yah sudah Pak, bapak makan dulu deh, biar bisa nyaman istirahatnya. Saya bersalaman sambil nyelipin uang kira-kira cukup buat 3 hari makannya.
Beliau bengong, nggak sempat terucap apa-apa dan saya tinggal.
Pagi ini saat berangkat ke kantor, saya lihat pak Ujang lagi, tidur meringkuk di pinggiran trotoar depan FX Mall, masih dengan celana dan baju yang sama. Saya tahu beliau pasti sedang lapar, saya berhenti sebentar menyelipkan uang makan untuk hari ini. Lagi-lagi beliau kaget.
“Untuk makan hari ini pak..” sambil saya tersenyum..
Ya Allah semoga Engkau berikan karunia kepada bangsa ini agar lebih banyak lagi warga lemah dan miskin yang bisa ditolong..
Betapa malu hati ini karena masih saja diliputi keserakahan dan ketidak bersyukuran..
Astaghfirullah hal ‘aldziem..
Jakarta, 23 Februari 2017
Ditulis oleh: Abdillah Hakim