Baru-baru ini sedang menjadi pemberitaan hangat mengenai demo besar-besaran yang dilakukan oleh rakyat Tunisia terhadap Presiden Zine El Abidine Ben Ali, tidak ada kata lain bagi mereka selain menuntut presidennya untuk mundur setelah 23 tahun lamanya memegang tampuk pemerintahan. Tak lama kemudian, rakyat Mesir menyusul melakukan tuntutan yang serupa yaitu menginginkan Presiden Hosni Mubarak untuk turun dari puncak tahta kekuasaannya setelah 32 tahun berkuasa. Mungkin jika kita perhatikan, kasus seperti ini juga pernah kita alami pada tahun 1996. Pada saat itu, para mahasiswa yang menamai dirinya dengan Gerakan Reformasi ramai-ramai berdemo menuntut Presiden Suharto untuk mundur dari jabatannya. Sebenarnya inti masalahnya sih sama saja, rakyat merasa tertekan karena selalu hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Sedangkan disisi lain, presiden dan kroni-kroninya malah sibuk mengurus kekayaan pribadinya yang umumnya bersumber dari anggaran negara itu sendiri.
Hanya saja, ada kisah unik dibalik maraknya gerakan-gerakan demo yang sedang melanda pemerintahan di negara-negara Timur Tengah saat ini. Siapa yang bakalan menyangka ternyata penggunaan Social Media seperti Facebook dan Twitter menjadi kunci awal dari munculnya pergerakan ini. Secara online rakyat-rakyat di Timur Tengah mulai saling berdiskusi mengenai bobroknya sistem pemerintahan yang mereka rasakan. Tidak ada perbaikan kesejahteraan dalam jangka waktu yang lama menyebabkan mereka mulai berencana untuk menyusun sebuah pergerakan. Dengan berbekalkan sebuah akun Facebook dan Twitter mereka memikirkan strategi apa yang dapat dilakukan agar target mereka yaitu Presiden Berkuasa dapat dijatuhkan.
Ternyata satu lagi dampak yang dapat ditimbulkan dari kekuatan Social Media yaitu bisa meruntuhkan sebuah pemerintahan. Ada pepatah yang menyatakan bahwa “Tangan Rakyat adalah Tangan Tuhan” dan “Demokrasi Sejati adalah Rakyat”. Perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat secara tidak langsung mengubah paradigma yang selama ini berlaku bahwa berdiskusi atau berencana haruslah bertemu secara tatap muka. Dengan adanya Social Media, kita dapat saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain hanya dengan berada didepan komputer atau laptop saja. Benar-benar sebuah pergerakan yang tak terlihat alias terselubung. Begitu semuanya sudah siap, tinggal bergerak saja.
Untuk Indonesia sendiri, apakah kasus diatas bisa terjadi juga? Tidak ada yang berani memastikan karena jika kita perhatikan data statistik pengguna akun Facebook di Indonesia (baca tulisan saya mengenai Update Jumlah Pengguna Facebook di Indonesia), jumlahnya memang termasuk besar dimana sebagian besar adalah laki-laki (59,5%) dengan usia produktif rata-rata berkisar antara 18-34 tahun (62,8%). Kalau saja setengahnya saja yang memiliki pemikiran pergerakan yang sama, dapat dibayangkan dampaknya bakal jadi seperti apa. Intinya adalah jangan pernah menganggap remeh dengan kekuatan Social Media, justru yang harus dilakukan adalah tetap selalu Mewaspadai Kekuatan Social Media di Dunia Nyata. (DW)