Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan dari DR. Ngusmanto, MSi dan Bima Sujendra, SIP, MSi bertajuk Figur Walikota Pontianak 2018 Dambaan Warga yang terbit di salah satu media cetak Kalimantan Barat pada Jumat, 24 Februari 2017 lalu. Sepertinya memang terlalu dini untuk menyimpulkan nama-nama figur yang muncul tersebut adalah sosok pilihan warga nantinya.
Nama-nama figur bakal calon yang akan muncul pada Pilwako Pontianak 2018 nantinya untuk saat sekarang ini baru sebatas opini biasa yang bisa kita konsumsi hampir setiap hari di ruang-ruang publik, terutama di warung kopi. Jadi tidak ada yang istimewa dari kemunculan nama-nama ini karena akan banyak lagi nama lain yang bisa diorbitkan dengan banyak motif. Zaman ini, label ketokohan begitu dinamis sebab akan sangat tergantung dari status sosial yang melekat pada diri si figur, misalkan menjadi tokoh karena masih memegang jabatan atau menjadi tokoh karena terlalu dibesar-besarkan.
Label tokoh dapat berubah-ubah. Pola membangun image ketokohan palsu seperti ini sudah lama ditinggalkan seiring perkembangan teknologi pencitraan yang sudah semakin maju. Pencitraan sudah tidak lagi bermain pada arena seorang figur harus dipoles melampaui kebenaran dirinya, tapi sudah beralih pada pengalihan persepsi (mind shift). Bukan siapa dirinya, tapi bagaimana dirinya!
Berpijak pada pola pencitraan baru ini, kemunculan identitas politik seorang figur terletak pada konsepsi menjadi pemimpin dari situasi krisis representasi. Representasi kepemimpinan politik tidak berasal dari cengkraman praktik politik konvensional. Nama-nama yang sudah terlanjur beredar di publik barangkali bukan bagian dari representasi entitas politik seperti ini karena hampir semua dari mereka adalah produk dari politik status quo: psikologis, cara berpikir, cara bertindak, interaksi dan komunikasi serba lama. Mereka mewakili era tua (Sunset Groups).
Era baru ditandai dengan munculnya pemimpin yang tidak lahir dari gerombolan elite politik yang sudah mapan. Diharapkan figur-figur calon yang akan muncul dalam Pilwako Pontianak 2018 menuju 2020 sebaiknya berasal dari kelompok muda populis sebagai ekspresi dari kehendak masyarakat yang mengharapkan kemurnian gagasan tentang kota masa depan.
Saya dapat menyebut kelompok ini sebagai Future Groups. Oleh karena itu, pembingkaian wacana pemimpin muda populis (F Groups) terletak pada adanya ancaman terhadap nilai-nilai masa depan jika sunset groups masih berkuasa. Terdengar ekstrim memang, tapi begitulah retorika populisme dalam memposisikan dirinya. Persepsi masyarakat harus dialihkan dari situasi status quo kepada situasi tandingan. Gerakan populisme bukan barang baru di jagat politik, eksperimennya telah banyak membuahkan hasil dan melahirkan pemimpinnya sendiri di belahan dunia lain.
Sebagian orang percaya gerakan populisme merupakan tren global yang bisa menular dan mampu mengubah skema politik arus utama. Tidak ada definisi yang terlalu kaku untuk menggambarkan fenomena ini, namun ciri-ciri dan polanya yang melawan arus politik kebanyakan bisa teridentifikasi. Lebih sederhananya, gerakan populisme adalah gaya politik yang berkesesuaian dengan suasana kebatinan rakyat.
Nah, perhelatan Pilwako Pontianak 2018 adalah perang tanding antara F group yang membawa pesan menyelamatkan nilai-nilai masa depan generasi berhadapan dengan sunset groups yang masih bertahan dengan isu-isu pembangunan tradisional. Gerakan populisme dalam konteks pemilihan langsung di Kota Pontianak jangan hanya dituduh sebagai bentuk sentimen generasi muda kepada generasi tua, tapi harus dilihat sebagai penanda akan munculnya babak baru dalam kontestasi kekuatan politik antara rezim sunset groups yang dikarunia dengan kemapaman sumber daya di banyak hal bertanding dengan F groups yang lebih banyak menguasai informasi dan pengetahuaan ketimbang modal.
Momentum kemunculan gerakan populisme dalam perhelatan pemilihan langsung Pilwako Pontianak 2018 lebih banyak dilatarbelakangi oleh sepak terjang elite politik arus utama yang lalai menyiapkan regenerasi kepemimpinan dan lebih banyak akan membiarkan figur-figur dari kelompok mereka sendiri yang itu-itu saja untuk dimajukan ke hadapan publik (sunset groups).
Alasan lain yakni Pertama, partai politik seharusnya jika mereka mau dan beritikad baik, maka akan mampu membuat mekanisme perekrutan yang dengan sungguh-sungguh berpegang pada merit system, meritokrasi-menekankan kepantasan (kecapakan) seseorang untuk menduduki posisi atau jabatan. Kedua, partai politik di daerah, tampaknya sudah semakin alpa dalam menyelenggarakan pendidikan politik untuk rakyat dan lebih banyak menyuguhkan drama konflik syarat kepentingan. Ketiga, elite politik di daerah sepertinya semakin di sibukkan dengan praktik politisasi etnis untuk mendulang dukungan daripada membenahi sistem pengkaderan dan pendidikan massa pendukung. Keempat pergerakan modal dirasakan sudah terlalu jauh mencampuri urusan kepemimpinan publik, dan terakhir masyarakat barangkali sudah merasa jenuh dengan instrumen demokrasi formal.
Akhirnya, kemunculan pemimpin muda populis beriringan dengan gerakan populisme meraka merupakan simbol baru perpolitikan di daerah yang cepat atau lambat akan memberikan opsi baru kepada generasi yang lebih muda. Bahwa jagat politik tidak hanya milik elite politik arus utama (sunset groups), tapi juga ikon penting hadirnya kekuatan kelompok baru yang siap mengambil peran kepemimpinan. Lupakan figur dambaan warga dalam proses Pilwako Pontianak 2018, karena kebangkitan pemimpin muda populis akan lebih nyata.
Keterangan:
Ireng Maulana merupakan seorang pengamat politik lulusan Master Ilmu Politik IOWA State University United States yang saat ini juga mendedikasikan dirinya menjadi Pengasuh Forum Diskusi Era Baru (FORDEB).