Memaksimalkan Potensi Kabupaten Sambas, Bercermin dari Kebijakan Bupati Bantul
TOPIK UTAMA
Potensi Kabupaten Sambas
Yupi Aprianto (36), salah seorang petani milenial kecamatan sambas, susah payah menjaga kebun yang sebenarnya tak begitu luas. Ketika air sudah tidak menjadi persoalan, giliran hama dan penyakit menyerang dengan ganas. “Sudah gitu giliran mau panen, harganya amblas terjun bebas. Anggas (lelah) rasanya,” ujarnya.
Persoalan ini tak hanya dirasakan oleh Yupi semata. Adi (42), petani asal kecamatan galing juga merasakan hal yang serupa. Fenomena anjloknya harga hasil pertanian ketika musim panen seolah sudah biasa. Padahal modal yang dikeluarkan dari mulai proses pengolahan tanah, proses penanaman, perawatan, sampai siap panen tidaklah sedikit.
Maka tak heran ketika ada petani yang ‘mengamuk’, dengan cara memilih membiarkan hasil panennya membusuk atau membagi-bagikan secara gratis lantaran tak mampu lagi menutup biaya produksi.
Unggul di Pertanian
Kabupaten Sambas merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Barat yang mempunyai potensi unggul dalam bidang pertanian. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sambas, peranan terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tahun 2020 dihasilkan oleh lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan yaitu mencapai 33,62 persen (angka ini naik dari 32,52 persen di tahun 2016).
Selanjutnya potensi Kabupaten Sambas di bidang lapangan usaha perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor sebesar 17,02 persen (turun dari 17,40 persen di tahun 2016), disusul oleh lapangan usaha industri pengolahan sebesar 11,64 persen (turun dari 12,47 persen di tahun 2016).
Berikutnya lapangan usaha konstruksi sebesar 8,09 persen (turun dari 8,13 persen di tahun 2016) dan administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib sebesar 6,65 persen (naik dari 6,14 persen di tahun 2016). Hasil pertanian di Kabupaten Sambas pun cukup bervariasi mulai dari beras, jeruk, karet, buah naga, kelapa, kacang hijau, kacang kedelai, dan lada.
Dalam hal produksi lada di kecamatan galing ketika harga lada tinggi petani memperoleh keuntungan besar, hal ini terlihat dengan meningkatnya pembelian motor baru oleh petani lada. Akan tetapi jika harga anjlok, kebun lada dibiarkan tak terurus.
Dengan demikian masalah mendasar yang selalu dihadapi para petani adalah penurunan harga. Situasi ini membuat petani merugi dan berdampak pada keberlanjutan usahanya.
Rendahnya harga hasil pertanian di tingkat petani tidak selalu disebabkan oleh banyaknya penawaran (stok), namun seringkali terjadi karena permainan pedagang besar. Jika hal ini dibiarkan, dampak besar yang ditimbulkan dapat menambah angka kemiskinan di Kabupaten Sambas dan hilangnya gairah bertani masyarakat.
Belajar dari Bantul
Pada periode pertama reformasi, Bantul dipimpin oleh Drs. H.M. Idham Samawi. Beliau seringkali terjun langsung dan sharing bersama masyarakat. Tahun 2001, Bupati Bantul mendapatkan keluhan dari petani bahwa harga beras cukup rendah, tidak sebanding dengan harga pupuk.
Keluhan yang bertubi-tubi dari “wong bantul” ini direspon baik oleh bupati dengan munculnya Keputusan Bupati Bantul Nomor 413 Tahun 2001 tertanggal 1 Oktober 2001 terkait kebijakan pembelian gabah. Kegiatan pembelian gabah mulai dilakukan pada tahun 2002 dan ditanggapi dengan baik oleh para petani, para petani sangat senang dengan kebijakan ini.
Keluhan yang sama dengan masalah yang serupa juga muncul dari petani bawang merah dan cabai. Harga kedua komoditas tersebut tidak mudah diprediksi. Harga tidak hanya ditentukan oleh penawaran dan permintaan, namun terasa ada permainan pengusaha-pengusaha besar.
Harga cabai untuk setiap satu kilogram terkadang bisa mencapai Rp. 100.000,-, namun secara tiba-tiba bisa turun drastis menjadi Rp. 2.000,-. Oleh karena keluhan itu maka muncullah keputusan Bupati Bantul Nomor 12A Tahun 2003 pada tanggal 31 Januari 2003.
Keputusan baru tersebut memperluas cakupan kebijakan pembelian produk pertanian menjadi tujuh komoditas penting yang dihasilkan petani Bantul. Tidak hanya beras yang harga jualnya dilindungi, namun juga jagung, kedelai, kacang tanah, bawang merah, cabai merah, dan tembakau.
Menggunakan Dana APBD
Dana pembelian kegiatan pasca panen ini diperoleh dari APBD tahun 2001 sebesar 1,5 milyar dan tahun 2002 sebesar 2 milyar. Dalam kurun waktu mulai tahun 2002 sampai 2012 atau 10 tahun, Pemkab Bantul mengeluarkan 1,9 milyar atau dalam sebulan mengeluarkan 15,8 juta.
Agar dana ini dapat bertahan lama maka dana tersebut digunakan hanya bila harga komoditas pertanian berada di bawah harga dasar yang telah ditetapkan. Jika harga produk pertanian lebih tinggi dari harga dasar maka petani dipersilahkan untuk menjualnya ke pasar. Akibat dari praktek kebijakan melindungi petani, membuat masyarakat Bantul menyayangi Drs. H.M. Idham Samawi dengan memilihnya pada periode kedua.
Bahkan jika tidak dibatasi, masyarakat ingin memilihnya untuk yang ketiga kalinya. Karena kebijakan yang populis pro rakyat itu pula yang mengantar Hj. Idham Samawi menggantikan posisi suaminya.
Kebijakan pasca panen merupakan bentuk perhatian pemerintah untuk mengurangi kerugian petani akibat rendahnya harga jual produk pertanian. Walaupun seandainya dalam kebijakan pasca panen ini pemerintah mengalami kerugian, namun hal itu merupakan bentuk solidaritas pemerintah terhadap nasib petani.
Dengan perlindungan ini masyarakat akan tetap semangat untuk terus bekerja di sektor pertanian. Intervensi pemerintah semacam ini tidak hanya dilakukan oleh pemda Bantul (Indonesia) saja, Amerika pun sebagai negara penganut kapitalisme juga melakukan hal ini.
Wallahu a’lam bishawab.
Sumber: Abdul Aziz
Comments are closed.