TPFx Pontianak
Opini

Aksi Pembakaran Al-Qur’an Kembali Terulang di Swedia, HAM Bungkam???

×

Aksi Pembakaran Al-Qur’an Kembali Terulang di Swedia, HAM Bungkam???

Sebarkan artikel ini
Aksi Pembakaran Al Quran di Swedia
LKP Cerdas Berdaya

Pelecehan terhadap simbol agama kembali terulang, Al-Qur’an yang merupakan kitab suci umat islam diinjak lalu dibakar oleh ekstrimis bernama Salwan Momika (37) di depan Masjid Raya Sodermalm di Stockholm, Swedia.

Aksi provokatif yang sangat melukai hati umat islam seluruh dunia ini dilakukan justru atas izin otoritas keamanan negara tersebut atas dasar kebebasan berbicara dengan motif untuk melakukan protes. Miris, peristiwa tersebut terjadi ditengah umat islam  sedang menunaikan ibadah haji dan merayakan idul adha 10 Dzulhijah 1444 H.

Kejadian tersebut juga mendapat kecaman dari dunia internasional termasuk Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri. Insiden serupa ditempat juga pernah terjadi pada bulan januari lalu melibatkan seorang politikus sayap kanan Rasmus Paludan, bahkan dilakukan di dekat kedutaan Turki sehingga menjadi pemicu ketegangan antara kedua negara.

Aksi semacam itu tentu merupakan perbuatan sangat keji yang tidak dapat dibenarkan atas dasar apapun. Perbuatan masyarakat terbelakang yang mencerminkan kebencian dan dapat merusak kedamaian.

Sekaligus menciderai salah satu tujuan dari amanat pembukaan piagam perserikatan bangsa-bangsa (PBB) yang menginginkan toleransi dan hidup bersama dalam perdamaian serta melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 18 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama.

Walaupun pasal tersebut juga menjamin kebebasan berpikir namun bukan berarti kebebasan berekspresi yang bertentangan dengan nilai kemanusian atau bebas tanpa koridor hukum. Apalagi agama adalah perkara sakral yang harus dilindungi kesuciannya dan merupakan harga diri bagi pemeluknya.

Tindakan provokatif tersebut dapat menimbulkan gejolak sosial di tengah masyarakat apabila tidak ditangani secara adil dan serius oleh otoritas terkait yang berwenang, terlebih aksi serupa terjadi secara berulang-ulang.

Baca Juga:  Komunitas Blogger Asia Tenggara, Apa Kabarnya Setelah 1 Dasawarsa?

Sudah selayaknya masyarakat internasional mengecam tindakan tersebut dan pengadilan internasional mengambil sikap tegas dengan mengadili otoritas Swedia karena diduga lalai atau justru mendukung intoleransi atau bahkan negara-negara memutus hubungan diplomasi dengan Swedia minimal menutup sementara kedutaan besar di Swedia dengan menarik duta besar sampai kasus ini benar-benar diadili/ ditangani serius.

Karena islam sebagai salah satu entitas besar di muka bumi ini perlu dihargai dan dilindungi hak-haknya oleh masyarakat dunia terlepas keberadaanya sebagai mayoritas atau minoritas di wilayah tersebut sebagai wujud dari masyarakat internasional yang beradab dan suatu negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).

Berkedok Islamophobia

Secara etimologi Islamophobia merupakan sebuah istilah yang digunakan sebagai sebutan kontroversial yang merujuk pada prasangka, diskriminasi, ketakutan, dan kebencian terhadap islam dan umat muslim. Islamophobia sebenarnya sudah ada sejak lama, terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya non-muslim.

Meskipun dampak islamophobia juga merebak di kalangan umat muslim sendiri sehingga cenderung ada sebagian yang antipati dengan ajaran agamanya sendiri atau memilah-milah syariat agama  tanpa mau menjalankan secara kaffah (komprehensif).

Masyarakat Eropa yang dikenal sebagai masyarakat modern dengan peradaban maju menurut hemat penulis rasanya tidak pas jika mereka kekurangan literasi mengenai ajaran islam yang sesungguhnya. Terlebih ditengah era keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi saat ini serta semangat riset para ilmuan melakukan kajian atau penelitian terhadap sesuatu secara ilmiah.

Baca Juga:  Zen Assegaf: Sisi Lain dari Seorang Habib Kribo

Jadi terkesan mustahil jika masyarakat yang maju berada pada zaman maju namun masih mengalami miskomunikasi dan mispersepsi terhadap suatu ajaran yang merupakan salah satu entitas terbesar. Karena pada dasarnya Islamophobia itu terjadi karena kesalahpahaman dan kesalahan informasi tentang islam.

Islam yang dianggap mengancam dengan stigmatisasi terorisme sejatinya tidak demikian, justru sebagai rahmat atau kebaikan yang bagi seluruh alam sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Anbiya’ ayat 107: ”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin) “.

Islam juga melarang menebar teror dan pembunuhan terhadap sesama sesuai Surah al-Amaidah ayat 32: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”.

Serta sangat menekankan toleransi yakni Surah Al-Hujurat Ayat 13: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal”.

Adapun tindakan terorisme yang biasa terjadi tersebut bukan merupakan ajaran islam atau ajaran sesat yang diduga konspirasi tingkat tinggi yang bertujuan membentuk stigma negatif terhadap islam dengan motif tertentu, atau leballing yang diduga didukung oleh media mainstream.

Sehingga dalam hal ini penulis berpendapat tindakan provokatif dengan melakukan pelecehan terhadap ajaran islam, umat islam dan simbol islam ini bukan semata karena Islamophobia atau merasa terancam jiwa dengan adanya kelompok islam tetapi lebih pada kebencian yang dalam terhadap islam dan sebagai gambaran masyarakat yang rendah nilai toleransinya serta ekstrim dalam bertindak/merespon sesuatu.

Baca Juga:  Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub: Haji Pengabdi Setan

HAM Terus Bungkam

Beberapa kasus pelecehan agama termasuk 2 (dua) kasus pembakaran al-quran diatas penulis melihat aktivis HAM baik dalam maupun luar negeri seperti bungkam tanpa suara lantang yang semestinya sesuai dengan latar belakang profesi mereka.

Begitu pula dengan pengadilan internasional atau otoritas terkait yang terkesan tidak berupaya melakukan tindakan tegas. Demikian pula media mainstream baik dalam maupun luar negeri yang tidak mem back-up atau mengawal kasus ini secara serius sampai ke tahap peradilan bagi para pelaku.

Mereka semua seperti beranggapan ini merupakan kasus yang tidak serius, sangat berbeda perlakuan jika yang melakukan tindakan teror dari atau diduga kelompok islam/mengatasnamakan islam.

Semua seperti di orkestrasi bersuara mengadili melalui opini bahkan menjustifikasi jika tindakan yang diduga berasal dari gerakan islam tersebut merupakan tindakan biadab, radikal dan melanggar HAM yang perlu untuk diadili bahkan dihakimi secepat mungkin.

Miris, atas dasar melawan terorisme suatu negara rela menginvasi negara lain tanpa sebab atau bukti autentik yang berakibat menimbulkan korban jiwa bagi rakyat sipil termasuk anak-anak yang tidak berdosa.

Bentuk kecaman keras dari berbagai negara pun terbatas seperti gimmick belaka tanpa ada tindakan yang berefek jera dari negara yang mengecam untuk negara yang dikecam dan atas dasar kecaman itupun tidak membuat otoritas terkait bergerak mengambil tindakan tegas.

Fenomena semacam ini menurut penulis jelas merupakan bentuk diskriminasi, ketidakadilan dan kerusakan kehidupan yang bermoral pada tatanan dunia. Wallahu’alam. (MA)