BloggerBorneo.com – Selama bertahun-tahun, banyak brand di Indonesia hidup dalam zona nyaman. Margin besar dianggap wajar, proses edukasi panjang dianggap normal, dan harga tinggi dianggap sebagai standar bisnis.
Namun, ketika TikTok datang dengan standar ROAS 3, tiba-tiba semuanya terasa tidak “manusiawi”.
Kenapa Brand Kita Kalah dari China?
Banyak brand mengeluh bahwa TikTok terlalu keras, terlalu demanding, dan terlalu sulit untuk ditaklukkan. Padahal, kalau kita mau jujur, yang kejam itu bukan TikTok.
Yang kejam adalah kenyataan bahwa selama ini kita hidup dalam ilusi bisnis yang tidak siap menghadapi dunia digital yang bergerak cepat. TikTok hanyalah cermin.
Dan cermin itu menunjukkan bahwa struktur bisnis kita terlalu boros, lambat, serta tidak efisien. Dunia telah berubah menjadi arena yang menuntut efisiensi dan kecepatan, masih banyak brand di Indonesia masih terjebak dalam cara berpikir lama.
1. Masalahnya Bukan ROAS 3 Tapi Masalahnya Struktur Biaya Kita Sendiri
Banyak brand lokal panik ketika ditargetkan ROAS minimal 3. Ada yang bilang platformnya toxic, tidak ramah UMKM, atau terlalu berat untuk brand Indonesia.
Namun, kalau kita bandingkan dengan brand-brand dari Tiongkok, justru mereka mampu bertahan dengan ROAS 3, bahkan 2 sekalipun.
Apa rahasianya?
Struktur biaya.
- Brand China: HPP 5–12%
- Brand Indonesia: HPP 25–40%
Bukan karena kualitas mereka selalu lebih rendah. Bukan juga karena mereka melakukan trik aneh. Hanya satu hal yang membuat mereka unggul:
Efisiensi.
Mereka sadar dunia sudah berubah, dan mau tidak mau, bisnis juga harus berubah:
- Pabrik harus efisien
- Packaging harus mass production
- Material harus dioptimasi
- Supply chain harus sesingkat mungkin
Mereka memasuki medan perang dengan perlindungan yang kuat.
Kita datang dengan kaos oblong sambil berharap peluru musuh tidak mengenai kita.
2. TikTok Tidak Akan Mengikuti Cara Main Kita Tapi Kita yang Harus Mengikuti Cara Main Dunia
TikTok adalah platform impulsif. Platform yang bergerak cepat, sederhana, dan langsung pada inti.
Namun banyak brand Indonesia masih mencoba menjualnya seperti marketplace atau Instagram:
- Produk 150–300 ribu
- Edukasi berbelit
- Video terlalu estetis
- Konten yang “dipikirkan matang”
- Ekspektasi penonton mau menonton panjang
Sementara brand China hanya butuh:
“Rp19.000. Hook 3 detik. Beli atau skip.”
Di TikTok, yang menang adalah:
- Yang paling sederhana,
- Yang paling ringan,
- Yang paling cepat.
Bukan yang paling estetik atau paling filosofis. TikTok bukan tempat bercerita panjang. TikTok adalah tempat memicu impuls.
3. Kita Mengira TikTok adalah Arena Kreatif Padahal TikTok adalah Pabrik
Di Indonesia, brand membuat 5 hingga 10 video per hari dan berharap ada satu yang viral.
Ketika tidak ada yang berhasil, muncul keluhan: “kok nggak ada yang meledak?”
Di China, ritmenya sangat berbeda.
Mereka tidak membuat 10 video.
Mereka membuat 3.000 video per hari.
Ya, tiga ribu.
Karena bagi mereka yang penting bukan kreativitas tinggi dari satu video, tetapi statistik dari ribuan percobaan.
Mereka melakukan testing:
- 200 hook
- 400 angle
- 50 thumbnail
- 20 gaya voice
- 300 creator
- 50 akun per SKU
Setiap. Hari.
Kita mengharapkan keberuntungan. Mereka membangun probabilitas dan menang karena volume.
4. Masalah Utama Kita Bukan TikTok Tapi Masalah Kita Adalah Ego
Banyak brand ingin menang, tetapi ogah menyesuaikan diri. Ego sering mengalahkan logika data.
Kita ingin:
- Produk mahal tetap laku impulsif,
- Edukasi panjang tapi ingin cepat closing,
- Kualitas premium tapi harga tetap tinggi,
- Struktur biaya besar tapi berharap ROAS tinggi.
Sayangnya, algoritma tidak peduli ego kita. Penonton hanya peduli:
- Murah atau tidak,
- Cepat atau tidak,
- Relevan atau tidak,
- Manfaat instan atau tidak.
TikTok adalah mesin impuls. Mesin yang menghargai kesederhanaan dan kecepatan.
Selama kita masih bertahan dengan pola lama, kita akan selalu kalah dari brand yang rela merombak diri dari nol.
5. Fakta Pahit: Brand China Tidak Lebih Jenius Tapi Mereka Lebih Disiplin
Banyak orang mengagumi brand China seolah-olah mereka punya strategi cerdas atau trik rahasia. Padahal, yang membedakan hanyalah satu kata:
Disiplin.
Mereka disiplin dalam:
- Menekan HPP,
- Testing konten,
- Produksi volume besar,
- Mengulang yang menang,
- Mematikan yang gagal,
- Mengikuti data, bukan ego.
Kita sering mengambil keputusan pakai “perasaan”. Mereka pakai angka.
Kita takut rugi, mereka menganggap rugi sebagai data. Kita lambat eksekusi, mereka langsung menjalankan.
Karena itu mereka berlari. Kita masih berjalan.
ROAS 3 Bukan Standar TikTok Tapi ROAS 3 Standar Dunia
ROAS 3 bukanlah bentuk “kekejaman” TikTok terhadap brand Indonesia. ROAS 3 adalah standar baru dalam dunia digital yang bergerak cepat.
Jika brand tidak siap dengan ROAS 3, bukan berarti platformnya salah. Artinya model bisnis kita belum siap untuk era impulsif yang dihuni oleh konten cepat, produksi masif, dan kompetisi global.
Dunia sudah bergerak. China sudah jauh berlari. Marketplace sudah berubah menjadi video pendek. Kecepatan mengalahkan kreativitas. Data mengalahkan ego.
Dan brand yang akan bertahan adalah brand yang berani berkata:
“Cara lama sudah mati. Saatnya mengikuti cara main dunia.”
Sumber: Edo Imawan






