Isu wilayah perbatasan belakangan ini menjadi sebuah topik hangat yang banyak diperbincangkan orang, mulai dari isu minimnya infrastruktur, kurangnya fasilitas pendidikan, rendahnya tingkat kesejahteraan, hingga goyahnya jiwa nasionalisme para penduduk wilayah perbatasan. Mungkin bagi sebagian orang menganggap semua pemberitaan itu adalah benar, namun tidak demikian dengan saya. Sampai detik ini saya masih menganggap semua itu hanyalah sebatas isu karena selama ini saya belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri tentang situasi sebenarnya disana. Tidak tahu kenapa, jika menulis tanpa disertai dengan bukti otentik sepertinya kurang pas rasanya. Sesuai fakta dan dapat dipertanggungjawabkan, itu adalah dua prinsip dasar dalam menulis yang selalu saya pegang sampai saat ini.
Di satu sisi, secara kasat mata saya malah melihat sepertinya ada pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan dari munculnya isu-isu perbatasan tersebut. Kita tidak tahu apakah isu yang dihembuskan tersebut memang benar-benar terjadi atau apakah isu tersebut hanya merupakan “ciptaan” dari pihak-pihak tertentu dengan harapan akan ada “proyek baru” yang bisa digarap berdasarkan isu yang berkembang. Bukan maksud hati ingin berpandangan negatif dengan semua itu, tapi umumnya yang terlihat sepintas seperti itu kondisinya. Apa yang disuarakan pada awalnya tidak sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya, ujung-ujungnya isu tersebut tetap berhembus ditiup angin tanpa adanya solusi.
Dan sejak munculnya isu-isu tersebut, keinginan untuk dapat menuliskan apa yang sebenarnya terjadi disana sampai saat ini masih hanya sebatas keinginan. Jarak daerah perbatasan yang cukup banyak memakan waktu menyebabkan saya belum bisa menjejakkan kaki kesana. Perbedaan status antara BLOGGER dan JURNALIS telah mengkondisikanku seperti itu, karena membawa nama sebuah media maka para JURNALIS memiliki kekuatan untuk melakukan wawancara dan mencari sumber berita dari pihak-pihak tertentu. Kalau statusnya “hanya” seorang BLOGGER, memang apa ada yang percaya?, kecuali kita memiliki minimal satu orang sahabat yang berstatus jurnalis dari sebuah media, baru bisa “nebeng” sekalian mencari informasi berita. Hehehehe…
Saya yakin pasti ada beberapa diantara pembaca yang setelah membaca tulisan ini langsung menyarankan agar saya menjadi jurnalis media saja (Mode GEER ON), cuma sebelum saran tersebut terucap saya telah menyakinkan diri agar tidak menjadi jurnalis media. Saya tetap ingin merasa bebas dan independen menuliskan segala sesuatu berdasarkan gaya dan kebiasaan saya, bukan karena desakan dari seseorang atau sebuah perusahaan. Terkecuali kalau tulisan tersebut terkait dengan masalah job review karena itu merupakan salah satu sumber penghasilan tambahan saya selama ini :-). Lagipula obyek tulisan yang dibuat kan juga berbeda, harus dapat dipisahkan mana yang masuk dalam kategori sosial, politik, hukum, kemasyarakatan, pariwisata, dan lain-lain. Memang kalau mau secara status saya masih meragukan karena saya bukan berasal dari sebuah media, namun jika semua tulisan saya tersebut didukung oleh sumber-sumber yang dapat dipercaya disertai dengan dokumentasi yang sesuai maka dapat disimpulkan tulisan itu adalah fakta dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Benar ngga?. Oh iya, mungkin diantara teman-teman ada yang berlatar belakang jurnalis dapat berbagi cerita dan pengalaman kepada saya disini dapat langsung dituliskan melalui form komentar dibawah ini. Terima kasih… (DW)
Sumber Gambar : Media Kompasiana