BloggerBorneo.com – Sudah bukan hal yang mengagetkan jika tiba-tiba ada sebuah brand business besar membuat publikasi yang berisikan informasi mengenai rencana penutupan bisnisnya.
Ternyata nama besar belum tentu membuat perusahaan dan seisinya mampu bertahan. Melihat dan membaca status milik Bang Ros di laman facebooknya membuat Blogger Borneo tertarik untuk mempublikasikannya di blog ini.
TOPIK UTAMA
Pamitnya Majalah Gatra
Ada kawan kirim tulisan dari @yuswohady di-share oleh Moeroe Supranoto mengulik soal pamitnya Majalah Gatra. Sedih juga, satu persatu media berbasis kertas bertumbangan.
Dalam tulisan itu disebutkan penyebab tutupnya Gatra karena Triple Disruption. Berikut tanggapan saya. Sambil seruput kopi, yok disimak wak.Gatra Tutup
Gatra, bak kehilangan teman lama yang selalu hadir tiap minggu dengan berita-berita serius dan kredibel. Kali ini, media cetak yang satu ini harus menyerah pada kerasnya zaman digital.
Triple Disruption
Sebenarnya, siapa yang bisa menolak godaan scrolling tanpa henti di media sosial, kan?
Mari kita lihat satu per satu analisis ini dengan senyum (dan mungkin sedikit tawa).
Pertama, Digital disruption.
Ini semacam kedatangan superhero baru yang tak ada tandingannya. Si media digital datang dengan kekuatan super cepat, super murah, dan super update. Ibarat Thanos dengan snap-nya, satu klik dan semua media cetak kocar-kacir.
Kedua, Pandemic Disruption.
Pandemi mempercepat digitalisasi lebih cepat dari kecepatan kilat. Semua orang tiba-tiba jadi ahli Zoom dan Instagram Live. Kalau dulu orang harus nunggu koran pagi untuk tahu berita, sekarang cukup scroll-scroll sambil rebahan di rumah.
Ketiga, Zillenial Disruption.
Nah, ini nih, generasi yang lebih milih TikTok daripada halaman koran. Zilenial lebih senang nonton video kucing lucu daripada baca editorial serius. Ya, bagaimana bisa bersaing?
Gatra Syndrome
Gatra, mungkin kamu seperti dinosaurus yang tiba-tiba bingung lihat meteor jatuh dari langit. Model bisnis tradisional seperti iklan dan langganan tak lagi cukup.
Crowdfunding? Community? Branded event? Mungkin Gatra lebih bingung dengan istilah-istilah ini daripada dengan berita politik luar negeri.
“Kodak Syndrome” atau “Nokia Syndrome”? Mungkin seharusnya kita sebut ini “Gatra Syndrome” sekarang.
Kesimpulan
Benar, kredibilitas itu penting, tapi saat ini kredibilitas mungkin kalah pamor dari viralitas. Berita sampah medsos sekarang lebih laris manis daripada berita mendalam penuh riset.
Bagaimana bisa bersaing dengan berita tentang selebriti yang jatuh dari panggung atau meme kucing lucu?
Meski kita harus berpisah dengan Gatra, mari kenang majalah ini dengan senyum. Toh, siapa tahu, suatu hari nanti Gatra bangkit lagi dalam bentuk yang lebih kekinian, mungkin sebagai kanal YouTube atau akun Instagram?
Hingga saat itu tiba, kita ucapkan selamat jalan, Gatra. Semoga beristirahat dengan tenang di surga media cetak. (DW)