Anshari Dimyati: Sultan Hamid II Bukan Pengkhianat Bangsa
Beberapa hari ini sedang viral Video, baik di Youtube maupun saluran jaringan lainnya di jagad media sosial (social media network). Video ini awal mula berasal dari youtube channel “Agama Akal TV”, yang dipublikasikan pada 11 Juni 2020.
Bantahan Yayasan Sultan Hamid II Atas Tudingan A.M. Hendropriyono
Oleh: Anshari Dimyati
Ketua Yayasan Sultan Hamid II
Entah dimiliki oleh pihak mana dan siapa, video ini kemudian viral berisi tentang statement A.M. Hendropriyono yang menyebut bahwa Sultan Hamid II adalah seorang pengkhianat bangsa. Lalu, masyarakat Pontianak gerah, warga Kalimantan Barat panas.
Sosok pahlawan dari wilayahnya ini disebut sebagai pengkhianat. Itu fakta yang terjadi. Satu sampai dua hari belakangan, berdentang-dentung bunyi notifikasi handphone saya di media WhatsApp oleh chat banyak orang, untuk meminta tanggapan atau sekadar mengkonfirmasi video viral ini.
Saya menjawab. Ya, kami pasti merespon pernyataan beliau. Hanya saja pernyataan Hendropriyono ini, bukan barang baru. Statement dia kali ini sama persis dengan apa yang tempo hari menjadi penjelasan dan pembahasan perdebatan kami bersama Anhar Gonggong di Pontianak.
Saya pernah menuangkan narasi soal opini yang dibangun oleh Anhar Gonggong, hasil dari perjumpaan yang tak disengaja itu. Kemudian, kali ini, berulang kembali. Dan hari ini disampaikan oleh seorang Mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara) di Indonesia, yang juga seorang Jenderal TNI Purnawirawan.
Kami tak mungkin langsung merespon dengan emosional dan amarah atas pernyataan Hendropriyono ini. Sedangkan kitapun tak tau, entah apa motivasi dia menyampaikan hal ini. Di sisi lain, masyarakat paham bahwa bertahun-tahun kami sudah sampaikan banyak fakta yang terbentang tanpa ada pembanding yang berarti.
Sultan Hamid II Bukan Pengkhianat Bangsa
Hendropriyono tiba-tiba hadir, dan kemudian menyulut emosi masyarakat Pontianak, masyarakat Kalimantan Barat. Celakanya, kegaduhan ini terjadi di tengah-tengah keadaan penyebaran virus Covid-19, dan/atau ketika kepercayaan masyarakat cenderung turun kepada penguasa akibat belum berhasilnya penanganan pemberantasan virus ini.
Tadi malam, 14 Juni 2020, kami melakukan konferensi pers antara Yayasan Sultan Hamid II bersama tokoh-tokoh Kalimantan Barat. Tiga sampai dengan empat tahun belakangan, kami, Yayasan Sultan Hamid II memang sibuk dan “ngotot” mengajukan pengusulan calon pahlawan nasional atas nama Sultan Hamid II dari Pontianak, Kalimantan Barat.
Secara resmi, pengajuan dari syarat dan ketentuan oleh Undang-undang Kepahlawanan kami penuhi dan ajukan di Kementerian Sosial Republik Indonesia. Selama beberapa tahun itu pula seakan cukup banyak halang rintang.
Namun, alhasil tetap tertolak dengan banyak macam alasan tak mendasar. Di sisi lain, berita acara pengajuan ini memenuhi syarat secara administratif. Tertolak, bukan berarti tak kuat. Bukti kami banyak, dokumen pendukungpun kami bawa dan serahkan ke Kementerian sebanyak dua troli. Tapi, ada saja alasan mereka untuk menolak kami.
Alasan terakhir dari kementerian bahkan absurd dan tak masuk akal. Jawaban penolakan bersifat substantif, sedangkan kewenangan mereka adalah administratif.
Dalam artikel lalu yang sempat saya tulis, hasil perbedaan pendapat bersama Anhar Gonggong, menuai reaksi cukup keras dari masyarakat Kalimantan Barat. Bagaimana tidak, unsur subyektifitas dalam menilai dan menelaah sejarah, menjadi pendasaran salah satu sejarawan senior tersebut.
Kala itu Anhar menggarisbawahi jangan sampai ada cacat, jangan sampai ada cela. Menurut saya itu tak mungkin. Tak ada manusia sempurna. Kalau dikorek semua pasti ada salah. Ini soal sudut pandang. Kami punya argumentasi.
Tapi sayang, Anhar berkeras hati tak menerima argumentasi kami. Kami punya dua pandangan dengan bentangan kutub yang berbeda.
Anhar berdiri pada perspektif lama, dia tetap katakan Sultan Hamid II adalah antek belanda, Sultan Hamid II adalah gembong pemberontakan APRA bersama Westerling tahun 1950. Padahal kami sudah bantah tuntas semua itu di dalam semua dokumen kami, Sultan Hamid II tidak bersalah dan bukan pemberontak.
Tak ubahnya Anhar, selanjutnya Hendropriyono memanas-manasi orang Pontianak, memantik amarah di Kalimantan Barat. Video yang berdurasi enam menit sembilan belas detik itu, dalam dua sampai dengan tiga hari sudah membuat gaduh satu provinsi, bahkan satu negara.
Judul video tersebut, menyinggung pula tentang pribumi berketurunan arab. Saya cek tadi malam sudah diubah oleh admin channel tersebut menjadi “PENGKHIANAT, Kok Mau Diangkat Jadi PAHLAWAN? | Part 1 A.M. Hendropriyono”.
Baca Juga: UNTAN Membangun Ekosistem Digital Menuju Cyber University
Ada beberapa point pernyataan Hendropriyono dalam video tersebut yang dapat kita uji bersama, kebenarannya. Yang pertama, dia menyatakan ada upaya mempolitisasi sejarah bangsa. Bahwa selama dua puluh tahun lebih kami berjuang mengungkap kebenaran, tidak ada bukti satupun pernyataan itu benar.
Sosialisasi terus kami lakukan, mulai dari nol data di mesin pencarian (search engine) popular bernama Google itu tentang Sultan Hamid II dan Lambang Negara Garuda Pancasila. Hingga hari ini penuh referensi kami tumpahkan segala data, artikel, jurnal, hasil penelitian, dan pemberitaan tentang Sultan Hamid II dan Lambang Negara tersebut.
Kami jelas membentangkan realitas sejarah yang sebenar-benarnya, meluruskan kawat yang bengkok, menghubungkan mata rantai yang sudah berpuluh tahun terputus. Kemudian menghadirkan sudut pandang (perspektif) baru dalam membaca sejarah.
Semua itu, karena ada pengaburan, pemburaman, serta penghapusan nalar dan ingatan anak bangsa terhadap sejarah beradaban kita. Kami ingin meninggalkan legacy yang baik dan benar. Berbuat agar bermanfaat untuk generasi muda dan selanjutnya. Agar generasi selanjutnya ingat secara utuh sejarah bangsanya.
Hendropriyono juga menyebut Sultan Hamid II bukan pejuang bangsa Indonesia. Hal ini kami tulis secara mendalam, di dalam buku yang kami tulis hasil dari penelitian masing-masing yang kami gabungkan bersama.
Kami menulis buku ini bertiga bersama saya, Nur Iskandar, dan Turiman Faturrahman Nur. Buku ini berjudul “Sultan Hamid II, Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali-Garuda Pancasila”. Ketika buku ini terbit dan ditunjukkan kepada masyarakat, apresiasi tinggi pula diberikan oleh rakyat Kalimantan Barat atas upaya menguak kembali “akar terendam” ini.
Banyak masyarakat hadir kala itu, 12 Juli 2013, tepat satu abad Sultan Hamid II. Tokoh nasional seperti Dr. Oesman Sapta Odang hadir memberikan pidato terbaiknya kala launching buku tersebut. Gubernur Kalimantan Barat, Walikota Pontianak, Bupati, Tokoh politik, budayawan, sosiolog, dosen, para pakar, petani, nelayan, buruh, dan lainnya hadir ingin melihat dan mendengar tentang sosok pahlawan dari wilayahnya.
Dalam buku itu kami tuangkan tentang banyak hal, utamanya adalah fakta tentang perjuangannya menghadirkan kedaulatan penuh di Indonesia.
Sultan Hamid II adalah salah satu aktor utama dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. RZ Leirissa, dalam buku “Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia”, bahwa negara ini merdeka dan berdaulat tidak hanya didapatkan dari perang gerilya, melainkan pula melalui jalur diplomasi bangsa.
Diplomasi ini berhasil dilakukan karena adanya Sultan Hamid II yang bertandatangan di atas kertas penyerahan dan pengakuan kedaulatan di Konferensi Meja Bundar (KMB), 27 Desember 1949. Sultan Hamid II jelas seorang pejuang. Kita ketahui bersama pada 17 Agustus 1945, ketika diproklamirkan kemerdekaan Indonesia, Negara tidak memiliki kedaulatan penuh. Ketika Jepang tersudut mundur, kemudian Belanda bersama sekutu kembali ke kepulauan ini.
Sukarno, Hatta, dan kawan seperjuangan lainnya ikut tersudut pula. Agresi militer (ke 1 dan 2) yang dilancarkan oleh Belanda membuat pukulan telak hingga mereka ditangkap dan diasingkan di Muntok, Bangka Belitung.
Dalam rentang waktu yang cukup lama, ketika sedang diasingkan, Sultan Hamid II orang pertama yang menjenguk dan mengajak berkolaborasi untuk mendapatkan kedaulatan penuh itu. Hingga kemudian terjadi Konferensi Inter Indonesia (KII) 1 dan 2, kemudian dilanjutkan dengan KMB di Den Haag, Belanda.
Sultan Hamid II juga ingin ada kemerdekaan dan kedaulatan, maka dari itu membentuk BFO (Bijeenkomst voor Federale Overleg) atau Majelis Permusyawaratan Negara-negara Federal, untuk menjembatani kepentingan-kepentingan para pihak, agar solusi bersama didapatkan.
Maka, kedaulatan pun penuh kita dapatkan. Selanjutnya, terbentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS) dalam bentuk Federal dengan waktu yang singkat (1949-1950). Agustus 1950, dengan adanya Mosi Integral Natsir, terjadi integrasi bangsa, Indonesia menjadi Negara Kesatuan.
Kita harus berfikir jernih dan komprehensif. Bahwa RIS dan NKRI itu adalah satu mata rantai yang sama dalam perjalanan bangsa ini. Toh, Presiden RIS adalah Sukarno, Presiden NKRI kala itupun Sukarno.
Bagaimana kita bisa menafikan sejarah ini, hanya karena ada pertarungan kaum federalis dan unitaris? Sedangkan kedua-duanya adalah Indonesia? Kami hanya minta, kita semua membaca secara utuh sejarah bangsa ini dengan sempurna. Tidak lebih.
Hendropriyono selanjutnya menyinggung soal definisi pahlawan nasional di Negara kita. Kami sebelum mengajukan pengusulan calon pahlawan nasional atas nama Sultan Hamid II, sudah mempertimbangkan secara matang tindakan kami ini. Kami sudah membaca secara utuh Undang-undang Kepahlawanan.
Kita ketahui bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Definisi pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau Yang Semasa Hidupnya Melakukan Tindakan Kepahlawanan Atau Menghasilkan Prestasi Dan Karya Yang Luar Biasa Bagi Pembangunan Dan Kemajuan Bangsa Dan Negara Republik Indonesia.
Kita perhatikan baik-baik frasa “Yang Semasa Hidupnya Melakukan Tindakan Kepahlawanan Atau Menghasilkan Prestasi Dan Karya Yang Luar Biasa Bagi Pembangunan Dan Kemajuan Bangsa Dan Negara”.
Selain sebagai seorang pejuang, di sisi lain bukankah Sultan Hamid II adalah seorang anak bangsa yang sudah menorehkan tinta emas dalam merancang lambang negara kita Garuda Pancasila? Itu adalah karya luar biasa yang sampai hari ini dipakai, digunakan, dilegalisasi sebagai simbol negara tertinggi di negara ini!
Kalau memang pengkhianat bangsa, mengapa kita masih menggunakan karya si pengkhianat ini? Definisi seorang pahlawan begitu sempit dan subyektif ketika kita dihadapkan realitas politik. Suka atau tidak suka. Kemudian, siapa yang mempolitisasi semua ini? Pemenang pertarungan politik para politisi kala itu?
Bagi sebagian orang Sultan Hamid II bukan pahlawan, seperti apa yang disampaikan oleh Hendropriyono dan Anhar Gonggong. Tapi bagi Pontianak dan Kalimantan Barat, Sultan Hamid II bukan sekadar Pahlawan belaka, dia adalah pemimpin wilayah ini, turut pula menjadi pemimpin di bangsa dan negara ini? Bukankah hari ini Kalimantan Barat juga Indonesia?
Dia seorang KNIL kata Hendropriyono, tidak punya rasa nasionalisme, dia pro terhadap Belanda. Opini ini adalah perspektif buta, dengan menafikan sudut pandang lain. Kita tahu bahwa KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger) adalah kesatuan tentara hindia belanda.
Isi manusia-manusia yang berada di dalam KNIL ini tidak hanya Sultan Hamid II. Ada TB Simatupang, Nasution, Urip Sumoharjo, dan banyak lainnya. Yang kemudian tetap berjuang bersama untuk mendapatkan kemerdekaan dan kedaulatan penuh di Indonesia.
KNIL juga bersama VB, TNI, dan lainnya juga kala itu melebur bersatu dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Bukankah kita ketahui bersama, tanpa ada tendensi apa-apa. Bahwa mereka menggunakan cara masing-masing untuk mendapatkan kedaulatan itu.
Kalau memang Sultan Hamid II tidak memiliki rasa nasionalisme, mengapa dia yang seorang Sultan itu, yang memiliki wilayah kedaulatan itu, memiliki rakyatnya sendiri itu, kemudian memberikan kedaulatannya kepada Indonesia?
Mengapa dia rela berletih-letih waktu, pikiran, tenaga, untuk merancang lambang negara yang kita letakkan lebih tinggi dari gambar pemimpin-pemimpin kita itu? Ini semua di luar akal sehat kita yang ingin melihat sejarah yang terang benderang.
Titik krusial pernyataan Hendropriyono, yang kemudian memantik amarah dan kekesalan masyarakat Pontianak atau Kalimantan Barat adalah tuduhan “Pengkhianat Bangsa”. “Dia adalah Pengkhianat, bukan pejuang. Pengkhianat Bangsa Indonesia!”. Apa yang dia khianati? Siapa yang dia khianati?
Sentimen politik atau sentimen perspektif barangkali memang seringkali mengaburkan nalar sehat kita, kala membenci seseorang. Pada tahun 1950, menurut Hendropriyono, masyarakat menginginkan integrasi bangsa, menjadi negara kesatuan. Sedangkan hal tersebut dicetuskan pertama oleh Natsir dalam mosi integralnya.
“Sultan Hamid II tidak happy, dia tidak senang”. Seperti tuduhannya bahwa Sultan Hamid II ingin tetap menjadi federalis, tetap menjadi Sultan. Bukankah memang dia seorang Sultan, yang alas tanah Pontianak ini didirikan oleh nenek moyangnya?
Federal adalah bentuk negara yang menjadi pilihan bersama, bukan seorang saja? Maka untuk mengubahnya juga perlu kesepakatan (baca: referendum) secara bersama pula.
Ini tidak adil. Kita baca kembali Pledoi (Nota Pembelaan) ketika Sultan Hamid II diadili pada tahun 1953 terkait tuduhan pembantaian yang dilakukan oleh Westerling di Bandung tahun 1950. Dalam pledoi-nya jelas Sultan Hamid II menyatakan bahwa “..sebagai diketahui, dari dulu hingga sekarang saya seorang yang berkeyakinan federalisme.
Akan tetapi di atasnya itu, saya seorang putra Indonesia dan apabila rakyat saya menghendaki negara kesatuan dan menyatakan kehendaknya itu dalam suatu referendum atau pemilihan umum, sayalah yang pertama-tama akan tunduk kepada kehendak rakyat itu.
Saya sesalkan benar bahwa aliran-aliran yang menghendaki negara kesatuan itu mengambil jalan yang inkonstitusionil untuk menghapuskan negara-negara bagian. Akan tetapi yang lebih-lebih menyinggung perasaan saya ialah, bahwa saya merasa terperdaya oleh wakil-wakil bangsa saya sendiri. Apakah gunanya Konperensi Antar-Indonesia?
Apakah arti perkataan-perkataan dan ucapan-ucapan yang muluk-muluk dari para pemimpin RI? Buat apa RI mer-ratificeer UUD Sementara RIS? Apakah semua itu hanya merupakan sandiwara belaka?..”.
Pernyataan perih itu diucapkan langsung pada sidang Mahkamah Agung tahun 1953. Lantas, siapa yang berkhianat? Sultan Hamid II bukan tidak nasionalis, Sultan Hamid II hanya ingin menggunakan cara-cara yang benar dalam menjalankan negara ini.
Dalam berpolitik, barangkali Sultan Hamid II tak begitu mahir bersilat lidah, beradu intrik, bermanuver bak politisi hari ini. Tapi Sultan Hamid II adalah seorang yang jujur, dia tak ingin mengkhianati bangsanya sendiri. Ini soal implementasi dan cara kita bernegara. Saya kira tidak haram untuk bicara bentuk negara.
Toh, dulu platform PAN berdiri oleh Pak Amin Rais adalah Federal, Faisal Basri juga bicara soal Federalisme, YB. Mangunwijaya begitupula dalam bukunya “Menuju Republik Indonesia Serikat”, Adnan Buyung Nasution bicara soal Federal.
Bukan berarti mereka tidak nasionalis, bahkan Presiden RIS (dalam bentuk Federal) adalah Sukarno, dengan Perdana Menterinya adalah Mohammad Hatta. Ini fakta yang terbentang, dan tak dapat dinafikan. Sultan Hamid II hanya tak suka menjalankan negara dengan cara yang inkonstitusional. Tidak lebih.
Terakhir, Hendropriyono menyebut soal tuduhan makar Westerling (APRA) di Bandung melibatkan nama Sultan Hamid II sebagai dalang dibaliknya. Sudah berkali-kali disampaikan, sudah pula kami buktikan bahwa Sultan Hamid II bukan pemberontak.
Sultan Hamid II tidak bersalah, dan tidak ada kaitan dengan pemberontakan Westerling di Bandung tahun 1950. Lihat kembali Putusan Mahkamah Agung tahun 1953 terkait Kasus Sultan Hamid II, Dakwaan Primer tidak terbukti secara sah dan meyakinkan di hadapan hukum.
Hal ini telah saya kaji dalam penelitian Tesis di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2012. Kala itu pembimbing Tesis saya adalah Prof. Andi Hamzah, seorang guru besar yang terkenal atau masyhur sebagai pakar hukum pidana Indonesia.
Saya yakin sarjana hukum (pidana) di Indonesia paham betul track record beliau sebagai seorang peneliti, pengajar, dan sebagai seorang pakar. Prof. Andi Hamzah sepakat bahwa Sultan Hamid II sebetulnya tidak bersalah dan tidak terlibat dalam pemberontakan westerling di Bandung.
Hanya saja, Sultan Hamid II adalah seorang yang jujur untuk mengakui pernah memiliki niat untuk membunuh tiga orang dewan menteri RIS karena kekesalannya terhadap gerakan-gerakan bawah tanah yang ingin membubarkan negara-negara bagian.
Tahu apa yang terjadi? Bahwa Sultan Hamid II membatalkan niatnya, bahwa tidak ada terjadi peperangan, tidak terjadi tembak menembak, tidak terjadi body contact, tidak terjadi peristiwa pidana apapun!. Apakah bisa seseorang yang membatalkan niatnya dalam melakukan perbuatan jahat, kemudian dikenakan pidana? Fakta membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah korban politik belaka.
Dari uraian tersebut di atas kami jelas dapat membantah telak, opini yang disampaikan A.M. Hendropriyono dalam video viral itu. Maka, kami sesalkan sosok seorang tokoh nasional seperti dia mengeluarkan statement yang cenderung dapat memecah belah anak bangsa.
Wajar, bumi putra Kalimantan Barat memuntahkan amarah atas pernyataan itu, wajar pula apabila warga Pontianak tersulut emosi akibat tuduhan tak mendasar tersebut. Sebagai seorang tokoh, sudah sepatutnya Hendropriyono bertindak bijak, bertutur santun, bersikap arif dalam memberikan contoh kepada generasi muda bangsa.
Alhasil, marwah tak terjaga, lidah tak bernyawa, ucap tak berharga.
Salam takzim kami, untuk masyarakat Indonesia, Kalimantan Barat, Pontianak, yang terus mendukung perjuangan pelurusan sejarah bangsa kita. Untuk meletakkan penghormatan setinggi-tingginya kepada Pahlawan Kita, Perancang Lambang Negara – Garuda Pancasila, Sultan Hamid II.
Pontianak, 15 Juni 2020.
Yayasan Sultan Hamid II.
AD.