Rico Huang: 15 Tahun Gagal, 3 Tahun Sadar, dan Kini Bangkit Lebih Bijak
BloggerBorneo.com – Sudah lebih dari satu dekade Rico Huang berkecimpung di dunia bisnis. Tapi siapa sangka, dari 15 tahun perjuangannya, justru hanya tiga tahun terakhir yang benar-benar membuahkan hasil.
Sisanya? Hanya putaran roda yang itu-itu saja—capek, tapi nggak kemana-mana.
Rico Huang 15 Tahun Gagal
“Bisnis 15 tahun, tapi hasilnya nol,” ungkap Rico dengan jujur. Kalimat yang mungkin terdengar pahit, namun penuh kesadaran.
Kini, ia tak lagi bangga dengan Ferrari atau pencapaian glamor di media sosial. Baginya, semua itu “nothing”, tak layak dibanggakan jika fondasi hidup dan bisnisnya masih rapuh.
Yang ia banggakan hari ini justru adalah kesadarannya untuk bertumbuh secara bertanggung jawab, perlahan tapi pasti.
1. Pertumbuhan Tanpa Fondasi Itu Indah… Sampai Akhirnya Jatuh
Rico mengaku kesalahan terbesarnya dulu adalah terlalu fokus mengejar omzet. Produknya bagus atau jelek? Nggak terlalu dipikir. Yang penting jualan laku.
Padahal, growth tanpa fondasi itu seperti bom waktu—cantik dari luar, tapi menunggu waktu untuk meledak.
Ia baru menyadari bahwa fondasi bisnis itu bukan cuma soal marketing dan cuan cepat, tapi hal-hal yang kelihatan membosankan:
- Produk yang benar-benar punya nilai
- Tim yang solid
- SOP jelas
- Hubungan baik dengan supplier
- Unique Selling Point yang kuat
- Product-market fit yang tepat
Semua itu dulu ia anggap cuma “bacotan” para mentor. Tapi kenyataannya, tanpa semua itu, bisnisnya porak poranda.
Dengan 200 karyawan, dia justru rugi terus-menerus dan terpaksa makan tabungan yang dulunya sempat menyentuh angka 10 miliar, hingga habis total.
Itulah momen turning point. Saat semua terlihat sukses di media sosial, tapi di belakang layar hidupnya nyaris hancur.
Dari situ, ia mulai sadar: marketing dan algoritma itu hanya secuil dari perjalanan bisnis yang sesungguhnya.
2. Ego: Musuh Terbesar yang Tak Terlihat
Ego itu licik. Kadang tidak datang dalam bentuk kesombongan, tapi justru muncul saat kita merasa “cukup”. “Bisnisku udah sehat, ngapain inovasi?” atau “Ngapain ikutan tren, toh duit masih masuk.”
Di titik itulah Rico mulai lengah. Ia jarang ke kantor, mulai percaya konsep autopilot, dan merasa dirinya sudah “di atas”.
Tapi pelan-pelan, semua itu membawa kehancuran: omzet menurun, tim melempem, iklan makin mahal, konten susah viral, hingga akhirnya disapa SP2DK dari Dirjen Pajak.
Tak hanya itu, egonya juga membuat ia terlalu percaya diri membangun bisnis baru padahal bisnis lamanya masih butuh banyak perbaikan. “Melihat peluang terlalu banyak padahal PR belum kelar itu bukan visi, itu jebakan,” katanya.
Dan satu hal yang ia tekankan berulang-ulang: ego bukan untuk dipelihara, tapi harus terus dilawan.
3. Kecerobohan Finansial yang Mahal Harganya
Di awal, Rico berpikir “nggak perlu gaji deh, toh ini bisnis sendiri.” Tapi kenyataannya, manusia tetap punya kebutuhan.
Maka, pengeluaran pun akhirnya diambil dari arus kas bisnis, tanpa perhitungan matang. Lebih parah lagi, setiap profit digulung lagi ke tempat-tempat yang kurang efektif:
- Marketing dan campaign keren tapi nihil hasil
- Bakar uang di ads
- Hire tim tanpa struktur
- Ikutan bisnis yang “lagi naik” cuma karena FOMO
Akhirnya? Uang habis, dan kebanyakan hanya jadi sedekah ke Meta, TikTok, dan KOL yang nggak ngerti brand.
Pelajaran yang ia dapat? Sekuat-kuatnya kita dalam berbisnis, kalau produk belum siap, tim masih berantakan, dan cashflow berantakan, scaling cuma bikin rugi makin besar.
Hari ini, Rico fokus belajar hal-hal fundamental:
- Cara tracking pengeluaran
- Membuat laporan keuangan
- Menarik dividen dengan benar
- Mengukur net worth
- Forecast pembelian
Karena menurutnya, uang bukan hanya soal nominal di kertas, tapi harus benar-benar liquid, sehat, dan terlihat nyata.
4. Bisnis Bareng Pasangan, Bisa Jadi Berkah atau Bencana
Dalam hal ini, Rico merasa beruntung. Ia memiliki pasangan yang bukan hanya suportif, tapi juga mampu berkolaborasi secara profesional. Tapi tentu saja, itu tak datang instan.
Ada cek-cok, ada perdebatan. Namun keduanya belajar membedakan peran: di rumah sebagai suami istri, di kantor sebagai mitra kerja. Kuncinya? Komunikasi & pembagian peran yang jelas.
Satu prinsip yang ia pegang: “Satu kapal, satu nakhoda.” Kalau dua kepala dalam satu bisnis, ujung-ujungnya bisa bubar jalan.
Mereka terbiasa berdiskusi, bahkan berdebat, bukan untuk menang-menangan, tapi demi mendapatkan keputusan terbaik. Dan ini membuat strategi bisnis mereka lebih kuat dan solid.
Penutup
Tulisan Rico ini bukan sekadar curhatan. Tapi lebih dari itu, ini adalah catatan jujur dari seorang pengusaha yang sudah jatuh-bangun, salah arah, sampai akhirnya menemukan jalan yang benar.
Yang paling menarik, Rico tidak bicara soal kesuksesan yang instan. Justru ia mengingatkan kita bahwa fondasi, kerendahan hati, manajemen uang, dan kemitraan yang sehat adalah kunci dari bisnis yang bertahan.
Ferrari boleh datang dan pergi. Tapi mentalitas, kebijaksanaan, dan semangat untuk belajar itulah yang akan membawamu jauh.
Kalau kamu sedang berada di fase yang sama—merasa stagnan, atau mungkin baru mulai—kisah Rico ini mungkin bisa jadi cermin dan pengingat bahwa perubahan hanya bisa datang kalau kamu jujur melihat dirimu sendiri.
“Lu bener-bener dablek kalau ngulangin kesalahan yang sama.”
Rico Huang, versi yang sudah sadar.
Kalau kamu ingin berdiskusi lebih lanjut atau punya pertanyaan, kamu bisa hubungi langsung Rico. Katanya sih, DM terbuka.
Tapi pastikan kamu sudah siap buat denger jawaban yang jujur, bukan yang manis. (DW)