Tantangan Itu Palu Nalar, Tak Sekedar Palu Arit
Nobar G30S/PKI. Ini merupakan agenda penting tahunan, yang memang baik untuk diselenggarakan setiap tahunnya. Tak boleh kita melupakan sejarah kelam bangsa ini. Sejarah berdarah itu patut kita petik pelajaran, bahwa jangan sampai terjadi lagi peristiwa serupa. Jangan ada lagi penculikan masal, pembunuhan masal, pembantaian, perang saudara, dan lainnya. Kita semua ingin aman, kita semua ingin damai. Tak ada yang ingin perang, perang hanya diinginkan oleh orang-orang yang tak punya pekerjaan penting dalam hidupnya.
Memang jika kita perhatikan, untuk saat ini Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah tak ada lagi di Negeri ini. Kalau ada, bisa kita buktikan apakah dia sebagai sebuah Partai Politik yang memang berbadan hukum dan terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia) Republik Indonesia, atau tidak? Kalau betul ada, harus kita basmi, tak boleh mereka ada dan terlembaga.
PKI, bila sudah terdaftar secara legal, konsekuensinya adalah mereka berhak mendaftar sebagai peserta Pemilu tahun 2019. Bila belum terdaftar, tak ada yang dapat dibubarkan, karena perangkat atau wadah organisasinya pun tak ada, dan tak bisa dibuktikan keberadaannya. Itu yang patut diperhatikan oleh para pihak anti PKI. Kita bisa menghadang laju berkembang organisasi itu dengan benar, bila posisi sudah tampak nyata. Bila belum, silahkan saja kalau mau lakukan propaganda.
Terlebih penting, kalau kita menuduh PKI masih ada, kita semua perlu ada bukti. Kalau tak punya, tuduhan yang dilempar tak berdasar hanya akan melambung tinggi tapi tak tau jatuh entah kemana. Mereka hanya akan tertawa. Besok semua orang lupa, bersebab cuma karena sekedar sebuah ‘wacana’ saja. Jangan sampai kebencian tak berdasar membuat kita lupa, bahwa sesama anak bangsa tak boleh dia saling membasmi hanya karena ingin memancangkan ideologi yang tak sesuai dengan konsesus bersama. Kita patut waspada, tapi bukan mencerca sesama.
Kita semua sudah sepakat bahwa Ideologi Negara ini adalah Pancasila. Jika menurut Muhammadiyah (dalam Muktamar ke 47 di Makassar tahun 2015), Negara Pancasila disebut sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah, Negara tempat konsensus bersama dan untuk saling mengisi dalam membangun bangsa dan Negara (pada aspek fisik maupun imateril).
PKI memang antagonis, tapi saya kira krusial point dari ributnya kita di hari kemarin bukan karena PKI, tapi karena takutnya kita akan paham “Komunisme” yang (barangkali) laju berkembang pesat menyerbu anak-anak di jalan yang tak bisa membedakan lagi mana gerakan yang membahayakan dan mana mendatangkan kebaikan.
Itu kedua hal yang berbeda. Pertama, PKI itu partai, yang menurut sejarah sudah dibubarkan dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Pelarangan Penyebaran Paham Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Dan yang Kedua, Komunisme itu paham atau ideologi tak bertuhan dalam kehidupan bernegara, yang dapat memiliki daya pengaruh bagi penganutnya di Negeri ini.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Komunisme atau ko·mun·is·me n adalah paham atau ideologi (dl bidang politik) yang menganut ajaran Karl Marx dan Friedrich Engels, yang hendak menghapuskan hak milik perseorangan dan menggantikannya dengan hak milik bersama yang dikontrol oleh Negara.
Terlepas dari perdebatan soal kebenaran, apakah itu soal hak kepemilikan bersama atau perseorangan, atau lainnya, saya memang tak sepakat dengan Komunisme. Soal kepemilikan, kita memiliki hak untuk memiliki alat-alat produksi seperti kepemilikan atas tanah, modal, atau tenaga kerja. Ini bertentangan dengan paham komunisme yang tak mengakui hak kepemilikan individu. Mereka menganggap semua adalah milik bersama, itulah salah satu kesesatan cara berpikir mereka.
Namun ada yang lebih penting dalam hidup. Yaitu, konsep Ketuhanan. Bagaimana bisa kita bernegosiasi dengan paham tersebut, bila peletak dasar pertama ideologi itu tak percaya Tuhan? Ajaran tentu turun menurun. Tak boleh bila tak lengkap diceritakan, namanya ada karena diabadikan oleh penerusnya. Tentu menjadi bahaya bila dia bertentangan dengan Islam, dan dalam sejarahnya pernah berupaya memaksakan pahamnya dengan kekerasan.
Karl Heinrich Mark (1818 – 1883). Pria asal Prusia (Kerajaan Bangsa Jerman) ini memiliki darah Yahudi di dalamnya. Dulu dia seorang Protestanisme, tapi kemudian hari memilih untuk tak beragama, tak percaya pada keberadaan sang pencipta. Atheis (Ateisme) menjadi pilihan hidup, sembari meninggalkan gagasan kontroversi bernama “Manifesto Komunis” bersama Friedrich Engels, “dua guru besar sosiologi dan pemimpin pergerakan kaum buruh modern”, hingga hari ini.
Paham yang diciptakannya itulah yang kemudian hari diikuti jejaknya oleh Vladimir Lenin yang memimpin pembantaian 7 juta orang dalam Revolusi Bolsevik di Uni Soviet. Pemikiran yang sangat berbahaya dari dirinya adalah pernyataan dalam tulisannya “Sosialisme dan Agama”, yang menyebutkan bahwa “agama harus dinyatakan sebagai urusan pribadi, dan penyebutan agama seseorang dalam dokumen harus dibatasi”. Ini tentu melanjutkan cara berpikir Karl Marx bahwa “agama adalah candu bagi umat manusia”.
Tak cuma Lenin yang melakukan pembunuhan masal atau pembantaian terhadap umat manusia, dalam melancarkan kampanye komunismenya. Joseph Stalin melakukan pembantaian dengan angka yang jauh lebih besar, 20 juta orang manusia. Begitu juga dengan Mao Zedong, dan lainnya. Di Cina, jumlah korban meninggal diperkirakan mencapai pada angka 80 juta orang manusia. Itu angka pembunuhan terhadap manusia. Manusia, bukan binatang.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia setidaknya sudah Tiga kali upaya pemberontakan dan kekacauan yang sudah dibikin oleh PKI atau organisasi sayapnya yang berpaham Komunisme. Pada tahun 1928, mereka mencoba melakukan aksinya yang kemudian hari ditindaklanjuti dengan hukuman oleh Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian pada tahun 1948, tiga tahun sesudah Indonesia merdeka, perkembangan Komunisme sedemikian subur, namun mereka tetap membuat ulah dengan melakukan pembantaian terhadap santri-santri di pesantren di Jawa Timur. Kabarnya pada Oktober 1948, pimpinannya bernama Muso dieksekusi mati.
Setelah itu, aliran Komunisme ini tetap tak dilarang, bahkan masih dibiarkan berkembang dan diakui eksistensinya. Pada tahun 1951 DN Aidit tampil sebagai orang nomor satu ditubuh PKI, dia terus bermanuver hingga pada tahun 1955 untuk pertama kalinya menjadi salah satu partai pemenang pemilu. Puncak ‘prestasi’ tertinggi PKI adalah menguasai eksekutif. Pentolannya, DN Aidin dan Nyoto berhasil mempengaruhi Presiden Sukarno dengan NASAKOMnya, dan menjadi Menteri Penasihat Presiden.
Disitulah, terlihat bagaimana keinginan dan nafsu yang besar untuk meminta Pemerintah mempersenjatai 25 juta orang buruh dan tani sebagai angkatan ke 5 dalam tubuh militer di Indonesia. Dapat kita bayangkan berapa banyak korban, bila memang benar terealisasi keinginan tersebut. Semua adalah ide Aidit, ide Dipa Nusantara Aidit, seorang ketua CC (Central Committe) PKI.
Banyak pembunuhan dan kekacauan yang dibuat oleh PKI. Puncak kekacauan itu adalah penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal TNI Angkatan Darat (AD), satu orang perwira menengah, dan satu orang polisi. Para Jenderal tersebut antara lain: Jenderal Ahmad Yani, Letjen R. Suprapto, Letjen MT. Haryono, Letjen S. Parman, Mayjen Panjaitan, dan Mayjen Sutoyo Siswomiharjo.
PKI juga menculik dan membunuh Kapten Pierre Tendean karena dikira Jenderal Abdul Haris Nasution. PKI pun membunuh AIP KS Tubun seorang Ajun Inspektur Polisi yang sedang bertugas menjaga Rumah Kediaman Wakil PM Dr. J. Leimena yang bersebelahan dengan Rumah Jenderal A.H. Nasution. PKI juga menembak Putri Bungsu Jenderal A.H. Nasution yang baru berusia 5 (lima) tahun, Ade Irma Suryani Nasution, yang berusaha menjadi Perisai Ayahnya dari tembakan PKI, kemudian ia terluka tembak dan akhirnya wafat pada tanggal 6 Oktober 1965.
Teragedi tersebut dinamakan dengan sebutan Gerakan 30S/PKI atau disebut juga GESTAPU (Gerakan September Tiga Puluh). Mereka menculik dan membunuh Para Jenderal di Jakarta dan kemudian membuang mayatnya ke dalam sumur di Lubang Buaya, Halim.
Gerakan 30S/PKI, oleh Pasukan Tjakrabirawa dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung yang membentuk tiga kelompok gugus tugas penculikan, yaitu: Pasukan Pasopati dipimpin Lettu Dul Arief, dan Pasukan Pringgondani dipimpin Mayor Udara Sujono, serta Pasukan Bima Sakti dipimpin Kapten Suradi. Selain Letkol Untung dan kawan-kawan, PKI didukung oleh sejumlah Perwira ABRI (TNI/Polri) dari berbagai Angkatan, antara lain: Angkatan Darat: Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro, Brigjen TNI Soepardjo dan Kolonel Infantri A. Latief. Angkatan Laut: Mayor KKO Pramuko Sudarno, Letkol Laut Ranu Sunardi dan Komodor Laut Soenardi. Angkatan Udara: Men/Pangau Laksda Udara Omar Dhani, Letkol Udara Heru Atmodjo dan Mayor Udara Sujono. Kepolisian: Brigjen Pol. Soetarto, Kombes Pol. Imam Supoyo dan AKBP Anwas Tanuamidjaja.
Kemudian hari, setelah pembantaian terjadi, barulah Mayor Jenderal TNI AD Soeharto yang bertugas melakukan pembersihan dan pengamanan. Sampai kemudian, para pimpinan PKI, DN Aidit, Nyoto, dan pimpinan lainnya dieksekusi mati oleh Pemerintah Indonesia, karena terbukti bersalah melakukan Subversif atau upaya menjatuhkan atau menumbangkan pemerintah yang sah dengan cara-cara di luar hukum dan konstitusi. Mereka semua, para pelaku kekacauan itu, diadili dengan menggunakan Undang-undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversif.
Kejadian ketiga inilah yang membuat Pemerintah Indonesia menumpas habis Komunisme di Indonesia. Sampai dengan keluar TAP MPRS XXV tahun 1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Pelarangan Penyebaran Paham Komunisme/Marxisme dan Leninisme.
Pada pasal 2 TAP MPRS ini dengan tegas menyebutkan bahwa “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut, dilarang”.
Tindakan yang diancam dengan pidana atas tindakan yang dilarang oleh ketentuan pasal tersebut dapat kita lihat dalam Pasal 107a sampai dengan 107f Undang-undang Nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (yang diatur dalam BAB I Buku Ke II KUHP). Begitu juga dengan yang diatur di dalam Perppu nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas, jelas diatur di dalam Pasal 59 ayat (4) huruf C dan Pasal 82A tentang pelarangan terhadap yang bertentangan dengan Pancasila termasuk Komunisme.
Ketentuan pengaturan-pengaturan terhadap pembubaran PKI dan perlarangan atas paham atau ajaran Komunisme ini yang tak boleh lepas dari pengamatan dan pengawasan kita masyarakat Indonesia, yang berkeTuhanan yang Maha Esa, sampai kapanpun. Sebab, aturan inilah yang bila dicabut dan tak ada lagi yang mengatur pelarangannya akan membuat PKI kembali bangun dari tidurnya yang sudah cukup lama berstatus haram di Indonesia. Ya, haram, sesuai dengan Muktamar Alim Ulama tahun 1957 di Palembang, yang turut menentang paham ini di Indonesia.
Tak boleh ada peluang, tak boleh ada legitimasi. Barangkali mereka akan tetap berjuang untuk mengembalikan eksistensi mereka. Tapi kita, kita tak boleh lengah dan tetap terus waspada. Mereka tetap mendapatkan hak yang diatur oleh Konstitusi kita, sebagai warga Negara. Tapi tidak untuk terlembaga. Tidak untuk memancangkan paham, ajaran, dan organisasinya.
Bahaya Komunisme adalah memang bahaya laten. Tapi, sudah menjadi tugas kita untuk mendidik anak, putra dan putri kita untuk tetap tegak di atas jalan yang benar. Tetap pada tauhid yang benar. Semua yang ada dalam rangkaian cerita, memang membuktikan bahwa Komunisme adalah ideologi buruk dan nyata.
Tapi, sekarang, tak ada lagi perang menggunakan palu arit, namun perang dengan menggunakan palu nalar. Maka dari itu kita harus melawan dengan hal yang sama. Siapkan para pejuang muslim dalam tubuh dan jiwa generasi kita. Generasi penerus dengan landasan Qur’an, Sunnah, dan Keilmuan. Bukan caci-makian. Bukan kekerasan.
Siapkan generasi muda kita menjawab tantangan zaman yang tak hanya sekedar teriakan penolakan. Tapi nalar dan sebuah landasan. (RED)
Penulis: Anshari Dimyati
Dokumentasi: Dedy Ari Asfar