Pelatihan Guru Dinilai Bebani Administrasi, Minim Dampak ke Pembelajaran
Program pelatihan guru bertajuk Deep Learning kembali menuai kritik karena membebani guru dengan tugas administratif dan minim dampak nyata bagi pembelajaran di kelas.
BloggerBorneo.com – Tulisan ini Blogger Borneo ambil dari pandangan kritis Kepala UPTD SDN Jambu 2, Bangkalan, soal urgensi reformasi pelatihan guru di Indonesia.
Ya kita ketahui bersama bahwa di era kepemimpinan Presiden Prawobowo Subianto, pemerintah kembali meluncurkan program pelatihan terbaru bertajuk Program Deep Learning atau Pembelajaran Mendalam.
Program Deep Learning Menambah Beban Guru
Akan tetapi, setelah sempat dijalankan program ini justru menuai kritik dari sejumlah kalangan pendidik karena dinilai tidak jauh berbeda dari pelatihan sebelumnya, yang membebani guru dengan tugas administratif berlebihan dan minim dampak pada pembelajaran di kelas.
Suraji, M.Pd yang merupakan Kepala UPTD SDN Jambu 2 Kecamatan Burneh, Bangkalan, menyampaikan kekecewaannya terhadap pola pelatihan guru yang dianggap hanya mengganti nama tanpa membawa perubahan substansial.
Menurutnya, pelatihan seperti ini justru memperbesar beban guru melalui sistem Learning Management System (LMS) yang padat tugas dan menuntut penyelesaian dalam waktu singkat.
“Semangat reformasi memang ada, tapi pelaksanaannya tidak menyentuh kebutuhan nyata guru di lapangan. Tugas LMS menumpuk, waktu terbatas, tapi hasilnya tidak berdampak langsung pada proses belajar mengajar,” ujar Suraji saat diwawancarai Tribun Madura, Minggu (3/8/2025).
Kontradiksi dengan Kebijakan Pusat
Suraji menyayangkan bahwa kebijakan pelatihan yang seharusnya memudahkan guru justru bertolak belakang dengan instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., yang menegaskan bahwa pelatihan harus mendukung kerja profesional guru, bukan menambah beban.
Namun dalam praktiknya, pelaksana teknis di daerah seperti Balai Besar Guru Penggerak (BBG TK) Jawa Timur masih menerapkan model pelatihan top-down yang kurang mempertimbangkan kondisi riil guru di sekolah.
“Banyak guru dan kepala sekolah merasa tertekan dengan tugas-tugas LMS yang harus diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat,” katanya.
Ia menambahkan bahwa persoalan ini bukan semata-mata soal niat, tetapi pada pendekatan pelatihan yang belum berubah secara mendasar.
“Reformasi pendidikan jangan hanya tampak dari nama program. Harus ada perubahan metode yang betul-betul dirasakan manfaatnya oleh guru,” lanjutnya.
Pembiayaan Disorot
Hal lain yang menuai kritik adalah pembiayaan pelatihan yang dibebankan kepada sekolah-sekolah penerima BOS Kinerja—yakni sekolah yang dinilai telah menunjukkan peningkatan dalam Rapor Pendidikan.
Suraji menilai, langkah ini justru kontraproduktif. Sekolah yang seharusnya diberi dukungan tambahan malah diberi beban anggaran.
“Dengan dana yang besar, pelatihan seharusnya berkualitas tinggi. Harus ada narasumber yang benar-benar kompeten dan profesional. Sayangnya, yang sering terjadi, pelatihan hanya diisi oleh fasilitator yang merupakan sesama guru, bukan pakar atau akademisi,” ungkapnya.
Menurutnya, jika pelatihan dibiayai dari anggaran negara dan berstatus berbayar, seharusnya narasumber minimal bergelar doktor (S3) dengan latar belakang akademik atau pengalaman praktis yang memadai.
“Kalau hanya menghadirkan guru sebagai narasumber, cukup dilakukan di tingkat KKG atau MGMP saja,” tegasnya.
Belajar dari Negara Lain
Suraji juga membandingkan sistem pelatihan guru di Indonesia dengan beberapa negara yang dianggap berhasil dalam bidang pendidikan, seperti Finlandia.
Ia menjelaskan, Finlandia hanya memperbolehkan 10 persen lulusan terbaik untuk menjadi guru, dan semua guru di sana wajib memiliki gelar magister (S2) sebelum bisa mengajar.
“Pelatihan di Finlandia disusun berdasarkan kebutuhan guru, bukan perintah dari atas. Tidak ada LMS, tidak ada unggahan file, tidak ada tugas laporan naratif yang menguras energi. Semua disusun kolaboratif, penuh refleksi, dan sangat menghargai profesionalisme guru,” jelasnya.
Negara lain seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan, lanjut Suraji, juga telah lama meninggalkan pendekatan pelatihan massal yang seragam.
Mereka memilih model pelatihan yang lebih fleksibel, berbasis kebutuhan lokal, mentoring profesional, dan tidak membebani guru dengan administrasi yang berlebihan.
Evaluasi Total Diperlukan
Suraji menilai, Kementerian Pendidikan sebenarnya sudah memiliki banyak kebijakan baik. Namun, jika implementasinya di lapangan tidak sesuai dengan semangat kebijakan tersebut, maka tujuan utama reformasi pendidikan tidak akan tercapai.
Untuk itu, ia mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan pelatihan guru, khususnya yang dikelola oleh BBGTK dan lembaga teknis lainnya.
Ia juga menyarankan agar pelatihan lebih difokuskan pada peningkatan kompetensi guru secara nyata di kelas, bukan hanya pada pengumpulan tugas atau pengisian sistem.
“Transformasi pendidikan sejati dimulai dari kepercayaan kepada guru. Jangan bebani mereka dengan pelatihan yang melelahkan, membingungkan, dan tidak berdampak. Anggaran pelatihan yang besar harusnya menghasilkan manfaat besar pula,” pungkasnya. (DW)
Comments are closed.