Perjalanan Saya Menemukan Diet Keto dan Intermittent Fasting untuk Menangkal Insulin Resistance

Image: ChatGPT.com

BloggerBorneo.com – Semua berawal dari keinginan sederhana: bisa jogging lebih jauh. Sejak Mei 2017, saya mulai rutin lari pagi.

Awalnya hanya mampu menempuh jarak 3 km. Namun, setahun kemudian, saya sudah sanggup mengikuti ajang Jakarta Marathon kategori 10K, serta berbagai event lari serupa di Jakarta.

Diet Keto dan Intermittent Fasting

Pada 2019, saya menantang diri mengikuti half marathon—Jakarta Marathon 21K dan Astra Half Marathon—dengan catatan waktu terbaik 2 jam 19 menit. Cukup memuaskan untuk usia saya yang saat itu sudah menginjak 58 tahun.

Pernah suatu kali saya mencoba berlari sejauh 25K mengelilingi kompleks rumah. Hasilnya, tubuh terasa lemas dan kehabisan tenaga.

Dari situ saya mulai bertanya: bagaimana caranya agar kuat lari sejauh 42K, alias full marathon?

Saya lalu membaca buku Endurance karya Phil Maffetone, yang menjelaskan bahwa untuk mencapai daya tahan optimal, tubuh harus beralih dari pembakaran glukosa ke pembakaran keton sebagai bahan bakar—yang bisa dicapai lewat pola makan rendah karbohidrat alias diet keto.

Dari sinilah pencarian saya terhadap informasi diet keto dimulai. Dalam prosesnya, saya justru menemukan wawasan baru tentang insulin resistance—sebuah kondisi metabolik tersembunyi yang kabarnya dialami oleh lebih dari 50% penduduk Amerika Serikat. Saya curiga, di Indonesia pun kondisinya tak jauh berbeda.

Mengenal Insulin Resistance

Insulin resistance adalah kondisi saat pankreas harus bekerja lebih keras memproduksi insulin dalam jumlah berlebihan demi menjaga kadar gula darah tetap dalam batas normal (sekitar 80–100 mg/dL).

Sayangnya, meski kadar gula dalam darah bisa tampak normal, seseorang tetap bisa mengalami insulin resistance.

Cara mendeteksinya bukan hanya lewat tes gula darah, tapi melalui tes insulin secara menyeluruh: mulai dari kondisi puasa, hingga 30 menit, 1 jam, 2 jam, dan 3 jam setelah makan.

Hasilnya lalu dianalisis dengan membandingkan kurva insulin terhadap standar normal, seperti yang ditampilkan dalam Kurva Kraft.

Selama ini kita mengenal diabetes sebagai “induk segala penyakit”. Namun ternyata, akar permasalahan justru dimulai dari insulin resistance.

Jika tidak segera ditangani, kondisi ini bisa berkembang menjadi pre-diabetes, lalu diabetes tipe-2, dan memicu berbagai penyakit lain seperti penggumpalan darah (yang menyebabkan stroke atau serangan jantung), asam urat (gout), tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, fatty liver, kerusakan ginjal, neuropati, bahkan kanker, autoimun, demensia (atau “diabetes tipe-3”), dan obesitas.

Kabar baiknya: semua kondisi tersebut, baik insulin resistance maupun diabetes tipe-2 beserta komplikasinya, bisa disembuhkan sepenuhnya hanya dengan pengaturan pola makan. Tentu, ini hanya berlaku jika belum terjadi kerusakan permanen pada organ tubuh.

Saya punya seorang teman berusia 60 tahun yang tiba-tiba mengalami kebutaan sebelah. Katanya, itu akibat dehidrasi karena seharian berada di ruangan ber-AC dan jarang minum.

Darahnya menjadi kental dan membentuk gumpalan (clot) yang menyumbat aliran darah ke mata. Awalnya saya percaya, sampai kemudian saya curiga bahwa penyebab utamanya bisa jadi adalah insulin resistance.

Sayangnya, untuk memastikan, ia harus menjalani tes insulin yang lengkap. Jika benar, maka pola makannya harus segera diubah agar komplikasi lainnya bisa dicegah.

Mengapa Insulin Resistance Banyak Terjadi?

Kondisi ini makin marak di era ketika makanan berlimpah dan mudah diakses. Kebanyakan orang makan tiga kali sehari, ditambah camilan berkali-kali, hingga bisa makan 8–10 kali dalam sehari.

Akibatnya, insulin terus-menerus diproduksi tubuh untuk menekan lonjakan gula darah. Masalah muncul ketika sel-sel tubuh sudah tidak bisa lagi menyerap glukosa karena terlalu jenuh. Insulin menjadi tidak efektif—dan itulah awal dari insulin resistance.

Intermittent Fasting: Langkah Pertama Mengobati

Pengobatan tahap awal sangat sederhana: mengatur waktu makan dan waktu tidak makan, atau yang dikenal sebagai intermittent fasting (IF).

Metode paling dasar adalah IF 16/8, yaitu berpuasa selama 16 jam dan hanya makan dalam jendela waktu 8 jam. Misalnya: berhenti makan pukul 8 malam, lalu baru makan kembali pukul 12 siang keesokan harinya.

Dengan cara ini, kadar insulin akan tetap rendah selama 16 jam, memberi kesempatan tubuh untuk “beristirahat” dari lonjakan insulin.

Setelah terbiasa dengan IF 16/8, banyak orang melanjutkan ke IF 18/6, bahkan IF 20/4. Pada pola IF yang lebih panjang, tubuh mulai melakukan proses autophagy—yakni daur ulang sel-sel rusak—yang sangat penting untuk regenerasi. Namun, untuk mengatasi insulin resistance, IF 16/8 saja sebenarnya sudah cukup efektif.

Tahap Lanjutan: Diet Keto

Langkah berikutnya lebih menantang: menghilangkan konsumsi karbohidrat dan gula sama sekali.

Mengapa? Karena dua kelompok ini sangat cepat menaikkan kadar insulin. Makanan seperti nasi, roti, kue, tepung, kentang, gula, madu, dan buah manis harus dieliminasi.

Sebagai gantinya, kita mengandalkan protein (daging, ayam, ikan), lemak sehat (telur, alpukat, minyak kelapa), dan sayuran rendah karbohidrat (daun, batang, bunga).

Buah manis seperti pisang, mangga, pepaya, manggis, meskipun alami, tetap tinggi gula dan sebaiknya dihindari. Lalu, bagaimana dengan kebutuhan mineral seperti kalium?

Jangan khawatir. Kalium juga bisa didapat dari alpukat, seafood, atau kacang-kacangan. Di era internet ini, informasi nutrisi sangat mudah diakses.

Energi dari Lemak: Sistem Bakar Cadangan

Jika tidak ada lagi glukosa dari makanan, tubuh akan beralih membakar lemak dan menghasilkan keton—sumber energi baru yang lebih efisien. Lemak ini bisa berasal dari makanan atau cadangan tubuh (lemak perut, paha, lengan, dll).

Keton hanya diproduksi jika tubuh tidak lagi mendapatkan asupan karbohidrat. Saat itulah, tubuh beralih dari pembakar gula ke pembakar lemak.

Sebagian sel memang tetap membutuhkan glukosa (misalnya sel darah merah atau sebagian kecil sel otak). Namun, tubuh bisa mensintesis glukosa dari protein atau lemak melalui proses gluconeogenesis.

Bahkan, otak ternyata lebih “senang” menggunakan keton karena menghasilkan energi lebih stabil, membuat pikiran jernih dan mengurangi stres.

Diet keto sendiri awalnya dikembangkan tahun 1921 sebagai terapi untuk penderita epilepsi—dan terbukti membuat kejang berhenti karena otak diberi bahan bakar keton, bukan glukosa.

Gout Saya Sembuh!

Salah satu pengalaman pribadi yang paling mengejutkan adalah ketika saya sembuh dari gout (asam urat) hanya dalam waktu dua minggu menjalani kombinasi diet keto dan IF.

Sebelumnya, saya harus menghindari makanan berpurin tinggi seperti jeroan, karena bisa memicu nyeri sendi. Tapi setelah dua minggu menjalani DKIF, benjolan di jempol kaki yang sudah lama ada mulai kempis.

Sebagai ujian, saya sengaja “uji nyali” makan jeroan dalam jumlah cukup banyak—otak sapi, usus ayam, babat, makanan yang sudah 25 tahun saya hindari. Hasilnya? Gout saya tidak kambuh.

Rupanya, yang selama ini menjadi pemicu adalah tingginya kadar glukosa dan insulin, bukan semata-mata purin. Dengan DKIF, inflamasi di tubuh saya menurun drastis.

Jika Anda baru pertama kali mendengar istilah insulin resistance, intermittent fasting, atau diet keto, saya sarankan untuk mulai membaca dan mengeksplorasi.

Dunia kedokteran nutrisi kini sudah banyak membuka mata tentang pentingnya memahami metabolisme tubuh.

Jika kita bisa menjaga pola makan yang tepat, bukan hanya performa fisik yang meningkat, tapi potensi sembuh dari penyakit kronis pun terbuka lebar.

Tubuh manusia ternyata jauh lebih cerdas daripada yang kita bayangkan. Kita hanya perlu memberinya kesempatan untuk bekerja secara alami—tanpa gangguan dari makanan yang salah, dan tanpa lonjakan insulin yang tak henti-henti.

Keterangan:

Tulisan diatas merupakan hasil penulisan kembali dari artikel yang dibagikan oleh Mas Nur Pamudji di laman facebooknya.

Artikel Lainnya

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More