Erdogan dan Sikap (Sebagian) Kita
Penulis: Yusuf Maulana
Recep Tayyip Erdogan dan Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) dalam beberapa jam terakhir ini bermunculan di linimasa teman-teman saya para aktivis dakwah. Kemenangan Erdogan dan koalisi yang dipimpin AKP dalam pemilu Turki 24 Juni disambut gempita para ikhwah sebagai kemenangan dan kabar baik dakwah Islam.
Sikap seperti itu tak salah karena di banyak negara sikap serupa diberikan untuk kemenangan Erdogan dan AKP. Tetap tampilnya Erdogan sebagai presiden Turki, ditambah dengan sistem presidensial yang ditorehkan dalam sejarah perpolitikan dan tata negara Turki, andil dan kontribusi Erdogan bagi dunia Islam diharapkan lebih berkilau lagi. Tak semata isu Suriah dan Palestina tapi juga dalam pelbagai kejadian kemanusiaan yang merugikan umat Islam.
Sebenarnya ada yang luput dari gempita para al-akh itu, yakni adanya figur dan partai yang sejatinya menyerupai minda mereka. Saadet Partisi dengan qiyadah di bawah kendali Temel Karamollaoğlu memilih tetap berseberangan dengan Erdogan dan AKP.
Para Ikhwan islamis penerus pemikiran Necmettin Erbakan, yakni mentor Erdogan, ini bertolak belakang dengan penguasa. Bahkan Karamollaoğlu dalam satu kesempatan menyebut situasi negerinya di bawah kendali Erdogan sebagai pilihan di antara “penindas dan yang tertindas”.
Rasionalisasi inilah yang membuat Karamollaoğlu dan Saadet bergabung dengan partai Kemalis dalam Koalisi Kebangsaan. Adapun hasilnya bisa kita saksikan. Koalisi mereka tak mampu taklukkan Koalisi Rakyat di bawah AKP, sedangkan Karamollaoğlu yang maju sebagai kandidat presiden tak sampai 1% suara yang diraihnya.
Sejujurnya, wajah Erdogan yang garang dalam soal dunia Islam mampu memikat hati banyak aktivis hingga lupa status mereka yang sebenarnya menyerupai al-akh oposan Erdogan, yakni kalangan Saadet. Sebagian sahabat kita di sini menilai dari hasil yang tampak. Mereka tak ikuti bagaimana sikap pragmatis dan proses politik yang mensenyawakan Islam dan sekularisme ala Turki sebagai jalan Erdogan dan AKP.
Padahal, ikhtiar serupa ketika pernah dirintis di sini (Amien Rais dengan PAN; Anis Matta dengan platform partai terbukanya PKS) mendapatkan resistensi kuat dari para al-akh yang memilih jalan Islam “istiqamah”. Semodel minda Erbakan yang kini ditiru Saadet, alih-alih Erdogan yang telanjur distigma “bukan ikhwah”.
Hari ini, “proses menjadi” ataupun “pergulatan menuju” terabaikan oleh sebagian aktivis dakwah. Kita senang dan riang bukan kepalang tatkala ada pahlawan yang hadir di muka bumi menolong dunia Islam semodel Erdogan. Padahal, memunculkan sosok sepertinya berharga mahal. Kita harus siap berkonflik dengan ikhwah, saudara seperjuangan, sebelum akhirnya kata berpisah ditetapkan.
Semoga saja mengidolakan sosok tangguh dan kenyal, dengan segala kekurangan yang ada tapi acap dimaafkan, mewaraskan nalar dan sikap kita. Ini tentang bagaimanapun kita bersikap wajar dan proporsional. Kita melakukan hal-hal yang justru menentang apa yang ditinggalkan Erdogan.
Kita membuat putusan yang tak adil pada al-akh lain, namun kita wajarkan itu, sementara Erdogan benci tindakan serupa. Atau malah seperti diutarakan Karamollaoğlu, soal menindas. Ini menarik, mengapa ia mengutarakan soal ini sementara hal serupa belum tentu sepi di partainya?
Semoga tampil (lagi) Erdogan hingga 2023, seabad usai institusi khilafah diruntuhkan Kemal Attaturk, mendewasakan kita. Bahwa dakwah dalam politik itu kadang harus disikapi beda. Area hitam-putih dalam dakwah harus bisa ditransformasikan dalam zona abu-abu politik dengan tetap tidak menanggalkan maqasyid syariah itu sendiri.
Kecermatan inilah yang perlu diasah para al-akh ketimbang berpuas membanggakan Erdogan. Apatah lagi bila sekadar untuk menyentil pendukung penguasa di sini, rasanya tak bijak. (Facebook/OpiniYM)